Selasa, 14 Mei 2013
9
komentar
A. Pengertian Paradigma
Istilah paradigma
pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962)[1], dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara
mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik[2].
Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980),
dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah
satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Norman K. Denzin
membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan
metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui
sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi
memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan[3]. Dari definisi
dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma
sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan
dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus
dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang
harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh[4].
B. Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Menurut Kuhn,
perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau
dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan
pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata
sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode
tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan
berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang
sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan
pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab
bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam
menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang
realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of
thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan
pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang
dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn,
dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini
pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang
berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa
pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang
didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya,
karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri
tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran.
Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir
oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling
tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat
yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus
dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan
obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan
juga berbeda[5].
Perbedaan
paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan
skema konseptual penelitian, melainkan juga pada perbedaan produk pengetahuan.
Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level yaitu pada;
penjernihan epistemologi, level “middle range” teori, khususnya dalam
menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis; dan tingkat metode
dan teknik[6].
Hampir semua
disiplin ilmu menghadapi persoalan keragaman paradigma, terlebih lagi bidang
ilmu-ilmu sosial. Sosiologi, misalnya, dapat didekati dari berbagai macam
paradigma (multi paradigma). Dalam Sosiologi dikenal sejumlah paradigma
sosiologi yang cukup dominan, antara lain Paradigma Fakta Sosial, Paradigma
Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Keragaman paradigma ini sudah
jelas memunculkan sejumlah pendekatan yang berlainan terhadap suatu obyek, baik
dalam mendefinisikan hakikat obyek itu sendiri, maupun dalam cara
menganalisisnya --yang hasilnya sudah dapat dipastikan akan berbeda antara satu
sama lain.
C. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Ada pernyataan
dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A
paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with
ultimetes or principles[7]. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan
pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani
dimana ia diterima dengan penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya
tanpa didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan
aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar
tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual penelitian,
ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan
penelitian.
Berkait dengan
proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan
paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan
paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian
kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl
(1859-1926).
1. Paradigma kuantitatif:
Paradigma
kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan
filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak
unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap
unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah
varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan
Idealisme).
Dalam penelitian
kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science),
yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang
tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason)[8]. Secara
epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa
sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan
lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory
experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek
studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara
fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan
fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas
pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu
bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan
harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana
pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif
diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau
gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya;
(2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu; dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas)[9].
Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry,
seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case
tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical
regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari
adanya suatu empirical regularities[10].
Sejalan dengan
penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan
bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris.
Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren
besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai
dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses
perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya
melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan
teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar
mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif[11].
Dalam metode
kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial
mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah.
Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case,
baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin
menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam
penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada
variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini
paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus
mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen,
ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma
penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian
kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat
generalisasi (generalization)[12]. Penekanan analisis data dari pendekatan
enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari
frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi
adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi
karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan” antara obyek-obyek
tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.
2. Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian
kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia
sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini
berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan
kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat
humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi
manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan
Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari
sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi,
ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di
kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara
eksplisit[13].
Terdapat sejumlah
aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi,
Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah
yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia
sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem
makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku[14].
Bertolak dari
proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa
fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam
hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara
keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta)
tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang
melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum
tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam
Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif,
lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi.
Di sini ditekankankan perspektif pandangan
sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan
kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi
seseorang dengan tingkah laku sosialnya[15].
Paradigma
kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan
itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya
berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif
adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk
menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma
kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak
menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian
kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding
dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul
data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam
proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam
proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan
induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi
analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan
kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak
dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan
cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara
pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi
analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya,
kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis[16].
D. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif
Bertolak dari
perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma
yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti
dikemukakan sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik
dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup
beberapa hal:
KUANTITATIF
- 1. Positivistik
- 2. Deduktif-Hipotetis
- 3. Partikularistik
- 4. Obyektif
- 5. Berorientasi kpd hasil
- 6. Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam
KUALITATIF
- 1. Fenomenologik
- 2. Induktif
- 3. Holistik
- 4. Subyektif
- 5. Berorientasi kpd proses
- 6. Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological
Lebih lanjut
perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai
berikut:
Paradigma
Kuantitatif
- Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.
- Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.
- Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
- Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.
- Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
- Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).
- Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
- Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.
- Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.
Paradigma
Kualitatif
- Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
- Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala (fenomenologis).
- Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).
- Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.
- Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
- Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
- Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
- Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.
- Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).
Oleh: Parluhutan
Siregar
DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA
MEDAN
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/05/paradigma-penelitian-kuantitatif-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
9 komentar:
makash mba, postingannya cukup ngebantu.
boleh tahu profilnya gk?
mamtap bosozkuuuuuu
@Budi Yanto:
ya mas...trmkasih kunjungannya
seharusnya sumbernya dari buku apa karya siapa harus dicantumkan mas.terimakasih
trmaksih postingannya sangat membantu tugas kuliah metode penelitin
Maksih...tpi bhsnya berat,msih blom pahm betul,cukup membntu...
Refrensinya serharusnya dicantumin Kak
Iya kurang daftar pustakanya
👍👍
Posting Komentar