Senin, 22 April 2013
0
komentar
ABSTRAKSI Standar
pelayanan minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis
dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan yang baru
diperkenalkan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung oleh
peraturan perundang-undangan yang memadai mulai dari undang-undang, peraturan
pemerintah ataupun peraturan menteri terkait. Di sisi lain sebagai sebuah
kebijakan baru, standar pelayanan minimal sedang dalam proses pencarian bentuk
dan sosialisasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit, mengingat perlunya
kesamaan pemahaman antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan di
lapangan, terlebih lagi seringnya terjadi proses penyesuaian kebijakan yang
disebabkan oleh dinamika masyarakat yang menjadi obyek kebijakan. Oleh sebab
itu pelembagaan suatu kebijakan tidak terlepas dari proses perkembangan dalam
rangka beradaptasi dengan lokus kebijakan. Proses adaptasi kebijakan tersebut
pada umumnya terwadahi dalam bentuk ketentuan peralihan yaitu suatu periode
waktu sebuah kebijakan mempersiapkan lokus kebijakan. Di sisi lain obyek
kebijakan diberi kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap pemberlakuan
kebijakan
PENDAHULUAN
Standar Pelayanan
Minimal atau yang lebih dikenal dengan SPM merupakan kebijakan pemerintah yang
digulirkan bersamaan dengan reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan ini diintrodusir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
tertanggal 6 Mei 2000 pada Penjelasan pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan kewenangan wajib merupakan pelayanan minimal...sesuai dengan standar
yang ditentukan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah”1 .
Peraturan Pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002, tertanggal 8 Juli 2002 yang ditujukan
kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia mengenai Pelaksanaan
Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kebijakan SPM tersebut
terus dipertahankan dan ditindaklanjuti meskipun UU No. 22/1999 telah diganti
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Manifestasi dari tetap dipertahankannya kebijakan SPM adalah adanya ketentuan
pasal 11 ayat (4) UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan urusan
yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah”. Sebagai bentuk tindak lanjut
kebijakan SPM adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005
tertanggal 28 Desember 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan
Minimal yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
tertanggal 7 Februari 2007.
Gambaran di atas
menunjukkan adanya komitmen yang besar dari pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
SPM guna meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai cerminan negara
kesejahteraan (welfare state) berdasarkan paradigma Good Governance.
Kondisi ini berbeda dengan praktek penyelenggaraan kebijakan SPM di lapangan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota). Dalam
praktek penyelenggaraan kebijakan SPM terindikasi2 masih banyak daerah
yang belum menindaklanjuti kebijakan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahannya
baik dalam kegiatan perencanaan, implementasi maupun evaluasi kebijakan Daerah.
Salah satu faktor penyebabnya adalah: Pertama, masih banyaknya
aparat pemerintah daerah khususnya aparat Kabupaten dan Kota yang belum
memahami kebijakan SPM secara benar sehingga timbul anggapan bahwa kebijakan
SPM bukan merupakan kebijakan yang menjadi prioritas; Kedua,
dengan pemahaman yang tidak benar tersebut maka kebijakan SPM tidak dimasukkan
dalam perencanaan pembangunan Daerah, bahkan tidak mendapat alokasi anggaran
yang memadai; Ketiga , kebijakan SPM sebagai indikator kesejahteraan
tidak dijadikan sebagai unsur penilaian kinerja pemerintahan Daerah sehingga
SPM tidak dijadikan salah satu indikator keberhasilan Kepala Daerah. Dengan
kondisi yang demikian maka SPM cenderung diabaikan baik oleh pemerintah daerah,
DPRD maupun masyarakat.
Berdasarkan
kondisi tersebut di atas dan dalam rangka turut mensukseskan kebijakan SPM,
penulis memandang perlu menyajikan tulisan singkat ini mengenai Kebijakan
Standar Pelayanan Minimal di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk
menjembatani perumus kebijakan yang ada di Pusat dengan pelaksana kebijakan
yang ada di Daerah serta untuk mensosialisasikan kebijakan SPM secara lebih
luas. 4 Adapun bahasan tulisan ini
berkenaan dengan Pengertian SPM dan Kebijakan SPM di Indonesia .
PENGERTIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
Standar
pelayanan minimal (minimum service standard)3 merupakan suatu
istilah dalam pelayanan publik (public policy) yang menyangkut kualitas
dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai salah
satu indikator kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan pemahaman tersebut
Oentarto, dkk. (2004:173)4 menyatakan bahwa standar pelayanan minimal
memiliki nilai yang sangat strategis baik bagi pemerintah (daerah) maupun bagi
masyarakat (konsumen). Adapun nilai strategis tersebut yaitu: pertama,
bagi pemerintah daerah: standar pelayanan minimal dapat dijadikan sebagai tolok
ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk membiayai
penyediaan pelayanan; kedua, bagi masyarakat: standar pelayanan
minimal dapat dijadikan sebagai acuan mengenai kualitas dan kuantitas suatu
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah (daerah).
Berdasarkan
pendapat di atas maka pengertian standar pelayanan minimal menyangkut dua
konsep utama5
, yaitu: ‘tolok ukur penyediaan layanan bagi penyedia layanan” dan
“acuan mengenai kualitas dan kuantitas layanan bagi pengguna layanan”. Adapun
yang dimaksud dengan konsep tolok ukur penyediaan layanan ialah kondisi optimal
yang dapat dicapai oleh penyedia layanan (pemerintah daerah) yang ditentukan
oleh sumberdaya yang dimilikinya (sumberdaya manusia, perlengkapan dan
pembiayaan serta sumberdaya pendukung lainnya). Sedangkan konsep acuan kualitas
dan kuantitas bagi penggunan layanan 5 (masyarakat) adalah kondisi minimal yang
dapat diperoleh dari penyedia layanan (pemerintah daerah) terkait pelayanan
publik yang diberikan. Dengan demikian “minimal” dalam pengertian “standar
pelayanan minimal” merupakan kondisi “minimal” dari sudut pandang masyarakat
tetapi mengandung arti “optimal” bagi aparat pemerintah daerah. Atau dengan
lain perkataan bahwa standar pelayanan minimal merupakan peristilahan dari
sudut padang masyarakat sebagai pengguna layanan terhadap kualitas dan
kuantitas yang dapat diterima dari pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik.
Selanjutnya
bila ditelaah lebih dalam maka pengertian standar pelayanan minimal di atas
terkait pula dengan konsep manajemen kinerja (performance management).
Menurut Hatry, et.al (1979) dalam Hodge (1997)6 manajemen kinerja adalah: “the
systematic assessment of how well services are being delivered to
community-both how effeciently and how effectively”. Sedangkan Rogers
(1990:17)7
menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan: “an integrated
set of planning and review procedures which cascade down through the
organization to provide a link between each individual and the overall strategy
of organization”. Selaras dengan pengertian manajemen kinerja tersebut,
pendapat Bernstein (2000) yang dikutip dalam buku Sistem Manajemen Kinerja
Otonomi Daerah, LAN (2004:8)8menyatakan bahwa sebagai sebuah sistem yang
terintegrasi, manajemen kinerja diyakini dapat digunakan untuk mendukung
pengambilan keputusan, peningkatan kualitas pelayanan dan pelaporan.
Adapun yang dimaksud dengan minimum service
baselines ialah spesifikasi kinerja pada tingkatan awal berdasarkan data
indikator standar pelayanan minimal yang terakhir (terbaru). Sedangkan yang
dimaksud dengan minimum service target adalah spesifikasi peningkatan
kinerja pelayanan yang harus dicapai dalam periode waktu tertentu dalam siklus
perencanaan multi tahun untuk mencapai atau melebihi standar pelayanan minimal.
Dengan demikian maka standar pelayanan minimal bersifat dinamis karena selalu
mengikuti perubahan yang terjadi pada masyarakat dan perubahan target pelayanan
yang ingin dicapai secara kualitas dan kuantitas sesuai dengan kinerja yang
ditetapkan. Perlu diingat bahwa meskipun terkait dengan target kualitas dan
kuantitas, standar pelayanan minimal berbeda dengan standar teknis karena
standar teknis merupakan faktor pendukung pencapaian standar pelayanan minimal.
Atau dengan lain perkataan standar teknis mempengaruhi pencapaian target
kualitas dan kuantitas standar pelayanan minimal.
KEBIJAKAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI INDONESIA
Standar
pelayanan minimal sebagai sebuah kebijakan memiliki kedudukan yang kuat dan
bersifat spesifik mengingat konsekuensi hukum yang disandangnya karena bersifat
mengikat seluruh penyelenggara negara dan masyarakat, baik secara individual
maupun kelompok. Sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal selalu
didukung oleh peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum
pemberlakuannya dan memiliki arti yang spesifik sesuai dengan pemaknaan istilah
yang digunakan sesuai dasar hukumnya. 7 Di Indonesia, kebijakan standar
pelayanan minimal (SPM) secara nasional muncul dalam upaya pelaksanaan UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu termaktub dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 200011 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2). Secara lebih tegas
kebijakan SPM mulai efektif diberlakukan berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002 yang ditujukan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota se-Indonesia mengenai Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Pertimbangan yang dikemukakan dalam pemberlakuan SPM
antara lain adalah: Pertama, Terwujudnya dengan segera
penyelenggaraan kewenangan wajib dan penentuan serta penggunaan standar
pelayanan minimal dalam rangka mendorong penyelenggaraan desentralisasi dan
otonomi daerah; Kedua, penyelenggaraan kewenangan wajib merupakan
penyediaan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal
(SPM) sebagai tolok ukur yang ditentukan oleh Pemerintah; Ketiga,
dalam pemantauan penyelenggaraan SPM banyak ditemukan permasalahan yang
bervariasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kebanyakan Daerah
belum melaksanakan SPM karena merupakan hal baru, dan konsep SPM belum lengkap
sehingga sulit untuk diterapkan. Namun di sisi lain SPM harus diterapkan secara
tepat karena berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Daerah baik
dari segi perencanaan dan pembiayaan maupun pertanggungjawaban. Pendidikan dan
Kesehatan, namun beberapa instansi pemerintah telah menyusun standar pelayanan
minimal sebagai respon dari PP No. 25/2000, seperti Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah mengenai Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang
Penataan Ruang, Perumahan dan Pemukiman dan Pekerjaan Umum berdasarkan
Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Hal
ini seperti disinggung dalam SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 yang dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa “Untuk itu Pemerintah, dalam hal ini
Departemen/LPND telah menerbitkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal (PSPM)”13.
Dalam kurun waktu
tiga tahun selanjutnya, beberapa instansi pemerintah dan beberapa pemerintah
daerah melaksanakan kegiatan penyusunan SPM berdasarkan SE Mendagri tersebut.
Namun sebelum kebijakan SPM tersebut berlaku secara efektif, UU No. 22/1999
yang menjadi “cantholan”14kebijakan SPM telah diganti dengan UU No.
32/2004. Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Desember 2005 telah
diterbitkan ketentuan baru mengenai SPM berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005
mengenai Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal yang agak berbeda dengan
kebijakan SPM sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari kedua kebijakan SPM
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM diartikan sebagai ketentuan
tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal, sedangkan menurut SE
Mendagri No. 100/757/OTDA/2002, SPM diartikan sebagai tolok ukur untuk mengukur
kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan 9 dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Dengan demikian pengertian SPM berdasarkan PP No. 65/2005 lebih tegas
menyebutkan “jenis dan mutu pelayanan dasar“ sebagai tolok ukur kinerja penyelenggaraan
urusan wajib daerah (kewenangan wajib daerah) dan secara eskplisit menyebutkan
arti kata minimal dari sudut pandang rakyat dengan klausul “yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal”.
Kedua,
dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM hanya untuk Urusan Wajib
Pemerintah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Propinsi,
Kabupaten/Kota) dan urusan pilihan tidak menggunakan SPM tetapi standar
kinerja, sedangkan pada kebijakan SPM berdasarkan SE Mendagri No.
100/757/OTDA/2002, SPM ditujukan untuk Kewenangan Wajib dan tidak dikenal
istilah Kewenangan Pilihan (kewenangan = urusan pemerintahan) ; Ketiga,
dalam ketentuan SPM yang baru (2005) hanya dikenal SPM Nasional yang disusun
oleh Departemen Teknis/LPND dan tidak dikenal tingkatan SPM seperti: SPM
Nasional yang disusun Departemen Teknis/LPND, SPM Provinsi yang disusun oleh
Pemerintah Provinsi dan SPM Kabupaten/Kota yang disusun oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota seperti pada kebijakan sebelumnya; Keempat, dalam
ketentuan SPM yang sebelumnya Daerah mendapat tugas untuk menyusun SPM sesuai
dengan kondisi riil, potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada kebijakan
yang baru, Daerah hanya memiliki tugas untuk menerapkan SPM dengan menyusun
rencana pencapaian SPM berdasarkan SPM yang disusun oleh departemen teknis/LPND
yang telah mendapatkan rekomendasi dari DPOD (Dewan Pertimbangan otonomi
Daerah) dan telah dikonsultasikan dengan Tim Konsultasi SPM; Kelima,
dalam ketentuan SPM tahun 2005, kegiatan pembinaan dan pengawasan yang berupa
kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang, yaitu:
Pemerintah (Menteri/Pimpinan LPND) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
penerapan SPM oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Propinsi melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap penerapan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
sedangkan pada kebijakan SPM sebelumnya kegiatan monitoring dan evaluasi
dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah di Daerah terhadap
pelaksanaan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Hal yang perlu dicatat dalam Kebijakan SPM berdasarkan PP No.
65/2005 adalah sebagai berikut: Pertama, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan SPM dan tidak sesuai lagi dengan PP
No. 65/2005 wajib diadakan penyesuaian paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun
sejak ditetapkannya PP ini yaitu tanggal 28 Desember 2007; Kedua,
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun SPM yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan paling lambat dalam waktu 3 (tiga)
tahun sejak PP ini berlaku yaitu tanggal 28 Desember 2008.
Untuk memenuhi ketentuan tersebut di atas maka pada tanggal 7
Februari 2007 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mengatur mengenai empat hal pokok mengenai
penyusunan dan penetapan SPM yang meliputi: (a) jenis pelayanan dasar yang
berpedoman pada SPM; (b) Indikator dan nilai SPM; (c) Batas waktu perencanaan
SPM, dan (d); Pengorganisasian Penyelenggaraan SPM. Adapun keempat ruang
lingkup pengaturan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada
SPM mengacu pada kriteria:
- Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib daerah;
- Pelayanan dasar yang di-SPM-kan merupakan pelayanan yang sangat mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional, dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang latar belakang pendapatan, sosial, ekonomi, dan politik warga;
- Penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut didukung dengan data dan informasi terbaru yang Iengkap secara nasional serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi kelembagaan dan pembiayaannya;
- Pelayanan dasar yang di-SPM-kan terutama yang tidak menghasilkan keuntungan materi.
Berdasarkan kriteria di atas maka jenis pelayanan yang
berpedoman pada SPM dapat ditentukan dengan melakukan analisis terhadap bidang
urusan wajib sesuai UU No. 32/2005 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat, dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Sumber
http://www.docstoc.com/
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Di Indonesia
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/kebijakan-standar-pelayanan-minimal-di.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar