Jumat, 26 April 2013
0
komentar
A. JENIS-JENIS EKSTERNALITAS
Efisiensi alokasi sumberdaya dan
distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna
bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen
maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka
sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas
itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :
1. Efek atau dampak satu produsen
terhadap produsen lain (effects of producers on other producers).
2. Efek atau dampak samping kegiatan
produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)
3. Efek atau dampak dari suatu konsumen
terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)
4. Efek akan dampak dari suatu konsumen
terhadap produsen (effects of consumers on producers)
1. Dampak Suatu Produsen
Terhadap Produsen Lain
Suatu kegiatan produksi dikatakan
mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu
mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari
produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi
biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost)
oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran
air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream
producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air
bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih
jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya
perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu produk sisa yang beracun dan masuk
ke aliran sungai, danau atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan
akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam
hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap
produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu
kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.
2. Dampak Produsen Terhadap
Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai
eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser
fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang
sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi.
Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya
tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun
pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman
konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi
(perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara
atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber
daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan
konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan
adanya polusi udara.
3. Dampak
Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen
yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu
mempengaruhi atau mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen
seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari
kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain.
Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi
dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput
tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang
terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.
4. Dampak
Konsumen Terhadap Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu
fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak
jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai
dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air
baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas
dalam dua pengertian yang berbeda
- Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
- Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep
eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit
dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang
publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas
jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk
menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
B.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Eksternalitas timbul pada dasarnya
karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang
berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan
ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip
alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik
barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah
merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber
daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini
tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak
bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana
mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya
sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.
1. Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public
goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu
tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.
Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan
sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama
terhadap seluruh anggota masyarakat.
Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada
persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public
goods, common property resource). Ada dua ciri
utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum
yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing
dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Kedua adalah
tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak
hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang
publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang
indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.
Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai
moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat
(dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai
untuk mngendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri.
Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam
analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-ciri di atas, barang publik
tidak diperjual belikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik
dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk
melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cendrung acuh tak acuh untuk
menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagian
masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A
mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau
membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan
disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang
tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika
akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa
ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk
mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif
dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti akhirnya cendrung
mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi
terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada
kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan
barang publik yang efisien, karena masyarakat cendrung memberikan nilai
yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).
2. Sumberdaya Daya Bersama
Keberadaan sumber daya bersama (common
resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak
jauh berbeda dengan keberadaan barang publik di atas.
Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang
publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja
yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti barang
publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan.
Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain
untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama
ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang
efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus
sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968)
yang terkenal dengan istilah tragedi barang umum (the tragedy of the
commons).
3. Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga terjadi
ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property
rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa
terjadi pada pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti
pada kasus monopoli (penjual tunggal).
Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan
kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi negara-negara
pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit
sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih tinggi dari normal.
Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan surplus
produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen,
sehingga secara keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse
off).
4.
Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak
saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government
failure). Kegagalan
pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau
kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong
efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari
keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan
dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa
dalam berbagai bentuk :
1. Kelompok yang punya kepentingan
tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang
memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
2. Praktek mencari keuntungan bisa juga
berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi
berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang
tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
3. Praktek mencari keuntungan ini bisa
juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas
tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang
jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari
resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan
sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya
menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi
tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong
terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan
limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi
perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya
Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan
itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1
milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini
belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga akhirnya dampak
lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan
semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
SOLUSI PEMERINTAH DAN SWASTA TERHADAP EKSTERNALITAS
Kita telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas
itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi
tidak efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang
cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya
pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan
juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun
perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kita sebut saja
pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau
“swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah
maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan
eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar
mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada bagian pembahasan
berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi
persoalan eksternalitas.
A.
REGULASI
Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan
melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai
contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya
sosialnya jauh lebih besar dari pada
keuntungan pihak-pihak yang melakukannya,
pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili
serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau
pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.
Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana
itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk
polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek
sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang
sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika
polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor
harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin
dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan
penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga
ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak
lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk
menentukan ambang aman tersebut, kita harus
menghitung segala untung ruginya secara cermat. Di Amerika
Serikat, Badan Perlindungan
Lingkungan Hidup (EPA/Environmental Protection
Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk
merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan
untuk melindungi lingkungan hidup.
Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri
bisa bermacam-macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi
yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan
pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di
pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan
tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap
jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan
oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi.
Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan.
B.
PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI
Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi
eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan
kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan
insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial.
Sebagai
contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah dapat menginternalisasikan
eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan
yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi
subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak
yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstemalitas negatif
lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigowan tax),
mengambil nama ekonom pertama yang
merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).
Para
ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara
untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi
masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik
kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai.
EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua
pilihan solusi baginya, yakni :
a) Regulasi
: EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300
ton per tahun.
b) Pajak
Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton
limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.
Regulasi
itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan
insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi
polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?.
Para
ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama
sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang
polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat
untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan
polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya
terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik
bangkrut atau memilih tidak beroperasi.
Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara
ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik
mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan
merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan
kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar
kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya
lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika
keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan
terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera
mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari
pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya
lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.
Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung
menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang
mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling
tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada
perusahaan atau pabrik, yang paling sulit
menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk
menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat
penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang
diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan
pajak ini.
Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak
Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando
dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik
pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya
saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per
tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar
polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya,
pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus
mengembangkan tekndogi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong
menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan
semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.
Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain,
dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan insentif
dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum
sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa
penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus
konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah
dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini
memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat
adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak
lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk
mengoreksi insentif ditengah adanya
eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu
justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi,
selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga
meningkatkan efisiensi ekonomi.
PUSTAKA
- Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Edisi Ke Tiga. BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta.
- Myles, G.D. 1997. Public Economics. Cambridge University Press, Cambridge.
- Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik dan External, Ekonomi Tanpa Pasar. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarata.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/jenis-dan-faktor-penyebab-eksternalitas.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar