Jumat, 26 April 2013
0
komentar
A. Latar belakang
Dalam
suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan
aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan
kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu
sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan
masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui
mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu
kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa
yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa
eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu
terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external
effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects
(Mishan, 1990). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa
positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative
external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak
negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak
yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang
indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang
sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negative misalnya
polusi udara, air dan suara. Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai
eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang muncul
ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga. Misalnya,
suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru
dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi.
Meningkatnya harga
tanah tersebut menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain
yang ingin membeli tanah disekitar daerah tersebut. Dalam contoh di atas efek
tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah
tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang
akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan marginal rate of substitution
(MRS). Jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain
tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin
dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.
Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang
mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain tanpa adanya
kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor
produksi. B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk mengetahui 1. Apa saja jenis-jenis eksternalitas? 2.
Apa saja faktor-faktor penyebab eksternalitas? 3. Bagaimana solusi pemerintah
dan swasta mengenai eksternalitas? C. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah 1. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis eksternalitas 2.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab eksternalitas 3. Untuk menetahui
bagaimana solusi pemerintah dan swasta mengenai eksternalitas BAB II PEMBAHASAN
A. JENIS-JENIS EKSTERNALITAS
Efisiensi
alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi
bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku
ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik
terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat
terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini a. Efek atau dampak satu
produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers). b.
Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen (effects of
producers on consumers) c. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap
konsumen lain (effects of consumers on consumers) d. Efek akan dampak dari
suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers) 1. Dampak
Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain Suatu kegiatan produksi dikatakan
mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu
mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari
produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya
pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh
produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water
polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini
terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya.
Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini.
Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu
produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau semacamnya,
sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni
para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut
mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah
yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi
lain. 2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen Suatu produsen dikatakan mempunyai
eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser
fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat
populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi.
Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik
alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit
(polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman konsumen
atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen)
yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai
mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut
dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan
daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara. 3. Dampak
Konsumen Terhadap Konsumen Lain Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi
jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu
fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi
tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi
oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen
yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat
pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap
rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya. 4. Dampak Konsumen
Terhadap Produsen Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas
konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen
tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang
ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang
memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air
bersih. Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas
dalam dua pengertian yang berbeda : a. Eksternalitas yang bisa habis (a
deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang
individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh
seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain. b.
Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek
eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang
tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata
lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi
konsumsi bagi yang lainnya. Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas
jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan
eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara
merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan
instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas
dan analisa ekonomi.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
EKSTERNALITAS
Eksternalitas
timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti
prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi,
eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari
prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik
barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah
merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber
daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani
dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari.
Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan
terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya
eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari
adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.
1.
Keberadaan Barang Publik Barang publik (public goods) adalah barang yang
apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang
lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public
good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan
kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Kajian ekonomi sumber
daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik
atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property
resource). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini
merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply)
dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Kedua
adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya
diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang
berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah,
rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya. Satu-satunya mekanisme
yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap
barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat (dagang) sehingga benefit
yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mngendalikan atau memperbaiki
kualitas lingkungan itu sendiri. Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi
masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-ciri di atas,
barang publik tidak diperjual belikan sehingga tidak memiliki harga, barang
publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya.
Masyarakat atau konsumen cendrung acuh tak acuh untuk menentukan harga
sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagian
masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa
barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk
penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh
si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan
harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B
berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut
menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk
mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif
dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti akhirnya cendrung mengakibatkan
berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap
penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka
sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik
yang efisien, karena masyarakat cendrung memberikan nilai yang lebih rendah
dari yang seharusnya (undervalued).
2.
Sumberdaya Daya Bersama Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau
akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan
keberadaan barang publik di atas. Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya
dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka
bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti
barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan.
Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini,
pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang
efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus
sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968)
yang terkenal dengan istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons).
3.
Ketidaksempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu
partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights)
mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada
pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti pada kasus monopoli
(penjual tunggal). Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek
monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi
negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang
lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih tinggi dari
normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan
surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus
konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat
(worse off).
4.
Kegagalan Pemerintah Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja
diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah
(government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan
kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang
tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk
mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan
dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai
bentuk : a. Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups)
melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan
yang melindungi serta menguntungkan mereka. b. Praktek mencari keuntungan bisa
juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi
berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang
tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri. c. Praktek
mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang
mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan
uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko
yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya.
Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak
efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan
dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas.
Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan.
Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya
(denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah
yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1
milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini
belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan
yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya
sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
C. SOLUSI PEMERINTAH DAN
SWASTA TERHADAP EKSTERNALITAS
Kita
telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi
sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Namun sejauh ini
kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas
tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat
mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik
itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Untuk
mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak
“pribadi” atau “swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh
pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan
penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber
daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada bagian pembahasan
berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi persoalan
eksternalitas.
1. REGULASI
Pemerintah
dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku
tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan
membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari
pada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya
sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam
kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol
untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak
sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala
bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan
efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang
sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika
polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor
harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang
harus diupayakan bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan
polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun
tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman
tersebut, kita harus menghitung segala untung ruginya secara cermat. Di Amerika
Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA/Environmental Protection
Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan,
melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi
lingkungan hidup. Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa
bermacam-macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang
diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian
teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik.
Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para
pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor
industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri
yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya,
informasi seperti ini sulit di dapatkan.
2. PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI
Selain
menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintah juga dapat
menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang
dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial. Sebagai
contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah dapat menginternalisasikan
eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang
menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk
kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus
diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstemalitas negatif lazim disebut
sebagai Pajak Pigovian (Pigowan tax), mengambil nama ekonom pertama yang
merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959). Para ekonom
umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk
mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi
masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik
kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai.
EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua
pilihan solusi baginya, yakni : a. Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk
mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun. b. Pajak Pigovian : EPA
mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh
setiap pabrik. Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak
Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin
mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?.
Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu
sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai
ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat
untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak
penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena
pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau
memilih tidak beroperasi. Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak,
adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan
semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan
sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan
kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar
kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya
lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika
keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan
terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera
mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari
pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya
lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja. Pada dasarnya, pajak Pigovian
secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja
pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian
paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada
perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang
dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena
biaya alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi
yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui
penerapan pajak ini. Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak
Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando
dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik
pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya
saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per
tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar
polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan
insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan teknologi yang
ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi,
karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula
pajak yang harus mereka bayar. Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak
lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan
insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya.
Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan
ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih
besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dan pajak tersebut. Pajak
Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk
mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus
memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk
mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti
pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya
mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada
pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.
3. IZIN POLUSI YANG DAPAT
DIPERJUAL BELIKAN
Sekarang,
mari kita andaikan EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran
para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang
mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per
tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua
perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang
ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang
polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah,
pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si
pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini
sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua
pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?. Dari sudut pandang
efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi
kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan
keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu,
kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas
posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau
EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi. Logika yang
sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu
perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memang mengizinkan hal itu,
maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak
berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan
tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada
kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang
dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif
dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding
melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat
untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena
hal itu akan memberinya pendapatan cuma-cuma. Satu keuntungan dari
berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin
berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari
sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut
mirip dengan mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu
menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang
harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi
pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka
alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari
sebaik apapun alokasi awal tersebut. Meskipun penurunan polusi melalui
pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian,
sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua
kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya.
Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau
semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan
pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah.
Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus
membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan
yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah
pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi,
sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan
menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi. Kemiripan antara kedua kebijakan
itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada
gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi.
Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga
polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi artinya perusahaan-perusahaan
akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada
gambar (a) dipertihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung
menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus
ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempuma karena
perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan.
Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada
gambar (b) EPA secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara
menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak
berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung
dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi
kurva permintaan akan menentukan harga polusi. O Kuantitas Polusi 0 Q Kuantitas
Polusi Gambar (a) Pajak Pigovian Gambar (b) Izin Polusi Dalam kedua kasus ini,
terlepas dan posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik
pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau
dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin
polusi terbatas. Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih
baik dan itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika
ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi
karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat
memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target
tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi
sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti
halnya pajak Pigovian.
4. JENIS-JENIS SOLUSI SWASTA
Inefisiensi
pasar
akibat eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa di atasi dengan
penegakan atau peningkatan standar moral atau ancaman penerapan sanksi sosial.
Coba renungkan, mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah
sembarangan ?. Peraturan resmi yang mengatur tentang sampah memang ada, namun
di banyak tempat, peraturan semacam itu tidak dijalankan secara
sungguh-sungguh. Kita tidak mau membuang sampah disembarang tempat juga bukan
karena takut dengan peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita
mengetahui atau menyadari bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih
kanak-kanak, bahwa kita boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian
membatasi perilaku dan tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan
orang lain. Dalam bahasa ekonomi, ajaran agama itu meminta kita untuk melakukan
internalisasi eksternalitas. Contoh lain solusi swasta adalah derma atau amal
yang seringkali sengaja diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas.
Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta yang sengaja
dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Organisasi ini mengandalkan
pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota. Hal
ini sebagai contoh untuk mengatasi eksternalitas negatif. Sedangkan untuk
eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk
yayasan yang menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau
pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa. Pasar swasta
terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya. Motif utama mereka memang
untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan,
mereka juga sekaligus mengatasi eksternalitas. Sebagai contoh, kita lihat saja
apa yang akan dilakukan oleh seorang petani apel dan seorang peternak lebah
yang hidup berdekatan. Pada saat lebah-lebah itu mencari madu dari satu bunga
apel ke bunga lainnya, mereka membantu penyerbukan dan mempercepat pohon-pohon
apel itu berubah. Ia menguntungkan si petani apel. Sedangkan sipeternak juga
untung karena ia tidak perlu memberi makan lebah-lebahnya. Namun jika kerja
sama terselubung yang saling menguntungkan itu tidak diperhitungkan, maka kedua
belah pihak bisa merugi. Jika pohon apel yang ditanam si petani terlalu
sedikit, maka lebah-lebah itu akan kekurangan makanan. Sebaliknya, jika lebah
yang dipelihara si peternak terlalu sedikit, maka proses penyerbukan tidak
lancar. Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara penggabungan
kedua usaha. Si petani membeli seluruh atau sebagian usaha peternakan lebah,
atau sebaliknya si peternak membeli seluruh atau sebagian pohon apel. Jiak
kedua usaha ini disatukan, maka pengelolanya akan lebih mudah menentukan berapa
banyak pohon apel yang harus ditanam, dan berapa ekor lebah yang harus
dipelihara, demi membuahkan hasil yang maksimal. Dalam kenyataannya, niat untuk
mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan
penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis
usaha sekaligus. Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah
penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh
kepentingan. Dalam contoh di atas, si petani apel dan sipeternak lebah dapat
membuat perjanjian kerja sama, agar masing-masing dapat memberikan
eksternalitas positif yang optimal, sekaligus menghilangkan eksternalitas
negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang terlalu sedikit). Dalam
perjanjian itu bisa di atur, berapa banyak pohon yang ditanam si petani, dan
berapa ekor lebah yang harus dipelihara si peternak. Jika biaya yang dipikul
keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur siapa perlu membayar siapa, dan
berapa banyak. Melalui kontrak seperti ini, maka kemungkinan terjadinya
inefisiensi yang bersumber dari eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua
belah pihak akan sama-sama lebih untung dibanding kalau keduanya menjalankan
usahanya sendiri-sendiri, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain.
5. TEORAMA COASE
Sejauh
mana solusi swata tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas ?. Ada sebuah
pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama perumusnya
yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat
efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang
berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah
penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan
biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut
teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan
mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber
daya. Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut : Di
sebuah kota tinggal seseorang bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama
Spot. Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane,
tetangga Dick. Dick memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman
dan nyaman. Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas
negatif terhadap Jane. Haruskah Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus
penitipan hewan, ataukah Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam,
karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot ?. Pertama-tama, kita perkirakan
dahulu seperti apa pemecahan yang dalam secara sosial (untuk semua pihak). Ada
dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan
atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Dick dengan memelihara Spot, dan
berapa kerugian yang harus ditanggung Jane. Jika keuntungannya melebihi
kerugiannya maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan
terus memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi gonggongan
anjing. Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai keuntungannya, maka
Dick harus menyingkirkan anjingnya. Menurut teorema Coase, pasar swasta dapat
menciptakan sendiri pemecahan yang efisien. Bagaimana caranya ?. Sebagai satu
contoh, Jane dapat menawarkan sejumlah uang kepada Dick agar menyingkirkan
anjingnya. Dick akan terima tawaran itu, jika uang yang ditawarkan melebihi
nilai keuntungannya dalam memelihara Spot. Melalui tawar menawar, Dick dan Jane
akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua belah
pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai, maka itu
berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah eksternalits
yang mereka hadapi. Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Dick dari memelihara Spot
adalah Rp. 50.000,- sedangkan kerugian Jane bernilai Rp. 80.000,- Dalam kasus
ini, Jane dapat menawarkan imbalan sebanyak Rp. 60.000,- dan Dick dengan senang
hati akan menyingkirkan anjingnya. Kedua belah pihak akan lebih sejahtera
dibanding sebelumnya dan pemecahan efisien pun tercipta. Namun ada pula
kemungkinan Jane tidak membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai
keuntungan Dick lebih besar dari pada nilai kerugiannya. Misalkan saja, nilai
keuntungan Dick dari memelihara Spot ternyata Rp. 100.000,- sedangkan kerugian
Jane akibat gonggongan Spot hanya Rp. 80.000,- Jika ini kasusnya, maka tentu
saja Dick akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari Rp. 100.000,-
padahal Jane tidak akan mau membayar lebih dari Rp. 80.000,-. Akibatnya, Dick akan
tetap memelihara Spot. Ditinjau dari perhitungan untung ruginya, kondisi
tersebut juga terhitung efisien. Semua uraian dalam contoh di atas, tentu saja
bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang dibenarkan memelihara
anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa mengganggu gugat. Artinya,
kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Jane harus
memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela.
Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Jane, atau jika Jane secara
hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketentraman di rumahnya sendiri.
Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak
menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam
mencapai hasil yang efisien. Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat
Dick agar menyingkirkan anjingnya. Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane,
namun hasil akhirnya tidak akan berubah. Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan
sejumlah imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya.
Andaikata nilai keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka
keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus
memelihara Spot. Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Dick dan Jane
tetap berpeluang mencapai kesepakatan. Meskipun demikian, soal distribusi hak
itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang
menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Jika Dick yang memiliki hak awal
untuk memelihara Spot, maka Jane lah yang harus memberi imbalan dalam
kesepakatan yang mereka buat. Sebaliknya, jika Jane yang mempunyai hak awal
untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan. Namun dalam kedua
kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah
eksternalitas. Pada akhirnya, Dick hanya akan terus memelihara anjingnya jika
nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa :
Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat
mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas
dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu
berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan
pemecahan yang efisien.
KESIMPULAN
Dalam
beberapa kasus, para anggota masyarakat dapat mengatasi sendiri masalah
eksternalitas, tanpa keterlibatan pemerintah. Menurut teorema Coase, seandainya
mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa biaya), maka mereka
akan dapat mencapai kesepakatan bersama, dan melaksanakannya bersama-sama pula
sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien. Narnun dalam prakteknya, banyak
kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya tawar menawar itu. Salah satu diantaranya
adalah terlalu banyak pihak yang berkepentingan. Kalau orang-orang tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah
perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan
untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi
persoalan eksternalitas itu tanpa meninggalkan pasar, yakni dengan secara
langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung
segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka.
Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi. Penanggulangan
polusi juga dapat dilakukan melalui penerbitan izin polusi terbatas. Hanya
perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar
yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan upaya internalisasi
ekstemalitas polusi. Dalam prakteknya peran kelompok-kelompok pecinta
lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam
melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar jika dapat diarahkan
secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan
pasar.
DAFTAR
PUSTAKA
- Frank, Robert H. 1989. Microeconomics and Behavior, Forth Edition. Irwin Mc. Graw Hills, New York.
- Guritno M. 1991. Ekonomi Publik, Edis Ketiga. BPFE Yogyakarta.
- www.GrameenFoundation.orgwww.GrameenFoundation.org
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: EKSTERNALITAS
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/eksternalitas.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar