Senin, 20 Mei 2013
0
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga saat ini, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah peserta didik di Indonesia belum begitu membudaya. Kebanyakan peserta didik terbiasa melakukan kegiatan berupa menghafal tanpa dibarengi pengembangan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah. Untuk menyikapi permasalahan ini maka perlu dilakukan upaya pembelajaran berdasarkan teori kognitif yang didalamnya termasuk teori belajar konstruktivis. Menurut teori konstruktivis keterampilan berpikir dan memecahkan masalah dapatdikembangkan jika peserta didik melakukan sendiri, menemukan, dan memindahkan kekomplekkan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini, secara spontanitas peserta didik akan mencocokkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang dimilikinya kemudian membangun kembali aturan pengetahuannya jika terdapat aturan yang tidak sesuai (Slavin, 1994: 225). Oleh karena itu, guru hendaknya mampu menciptakan suasana belajar yang dapat membantu peserta didik berlatih memecahkan masalah.
Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik berlatih memecahkan masalah adalah model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instruktion). Model ini merupakan pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik (nyata) sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuan sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuiri, memandirikan peserta didik, dan meningkatkan kepercayaan dirinya (Arends, 1997: 288). Pada model ini para guru adalah mengajukan masalah, mengajukan pertanyaan, memberikan kemudahan suasana berdialog, memberikan fasilitas penelitian, dan melakukan penelitian.
Untuk mencapai kemampuan-kemampuan yang disebutkan oleh Arends di atas, maka dirasakan perlu dilakukan perubahan-perubahan, mulai dari kurikulum sampai kepada metodologi pembelajarannya. Perubahan-perubahan yang diharap-kan itu adalah: Pertama, harus berpusat pada siswa, karena pada hakekatnya siswalah yang belajar dan proses belajar itu adalah proses aktif. Kedua, pembelajaran itu bersifat top-down, dimulai dari masalah yang autentik. Dengan pemecahan masalah ini, siswa akan belajar dua hal sekaligus, yaitu siswa menemukan jawaban terhadap masalahnya (menguasai proses dan isi pelajaran-nya) dan siswa tahu bagaimana cara memecahkan masalah (keterampilan proses). Pada saat yang sama dengan keterampilan yang dipelajarinya siswa belajar memecahkan masalah. Sadar atau tidak, seyogyanya semua hasil belajar diarahkan kepada kemampuan pemecahan masalah, karena kemampuan pemecahan masalah itu merupakan hasil belajar yang paling tinggi. Ketiga, Pembelajaran harus berkaitan antara apa yang sedang dipelajari dengan disiplin ilmu lain. Keempat, Pembelajaran juga harus berkembang sedemikian rupa sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat. Di dalam kelas siswa belajar mengenai masalah-masalah nyata yang ada di dalam masyarakat. Kelima, Pembelajaran merupakan alternatif pengalaman belajar yang dapat dipilih oleh siswa yang belajar, namun demikian tetap dirancang secara sistematik dan berkelanjutan.
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi harapan di atas. Oleh karena itu, pembelajaran berdasarkan masalah harus dikuasai dengan baik oleh setiap guru sebagai model pembelajarannya, sehingga mampu dan mau menerapkannya sebagai bentuk inovasi di kelasnya masing-masing.
Untuk mencapai kemampuan-kemampuan yang disebutkan oleh Arends di atas, maka dirasakan perlu dilakukan perubahan-perubahan, mulai dari kurikulum sampai kepada metodologi pembelajarannya. Perubahan-perubahan yang diharap-kan itu adalah: Pertama, harus berpusat pada siswa, karena pada hakekatnya siswalah yang belajar dan proses belajar itu adalah proses aktif. Kedua, pembelajaran itu bersifat top-down, dimulai dari masalah yang autentik. Dengan pemecahan masalah ini, siswa akan belajar dua hal sekaligus, yaitu siswa menemukan jawaban terhadap masalahnya (menguasai proses dan isi pelajaran-nya) dan siswa tahu bagaimana cara memecahkan masalah (keterampilan proses). Pada saat yang sama dengan keterampilan yang dipelajarinya siswa belajar memecahkan masalah. Sadar atau tidak, seyogyanya semua hasil belajar diarahkan kepada kemampuan pemecahan masalah, karena kemampuan pemecahan masalah itu merupakan hasil belajar yang paling tinggi. Ketiga, Pembelajaran harus berkaitan antara apa yang sedang dipelajari dengan disiplin ilmu lain. Keempat, Pembelajaran juga harus berkembang sedemikian rupa sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat. Di dalam kelas siswa belajar mengenai masalah-masalah nyata yang ada di dalam masyarakat. Kelima, Pembelajaran merupakan alternatif pengalaman belajar yang dapat dipilih oleh siswa yang belajar, namun demikian tetap dirancang secara sistematik dan berkelanjutan.
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi harapan di atas. Oleh karena itu, pembelajaran berdasarkan masalah harus dikuasai dengan baik oleh setiap guru sebagai model pembelajarannya, sehingga mampu dan mau menerapkannya sebagai bentuk inovasi di kelasnya masing-masing.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Penerapan Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) Untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran Geografi Di SMAN 2 Pujut Tahun Pelajaran 2008-2009”?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dapat dikemukakan tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran geografi di SMAN 2 Pujut Tahun Pelajaran 2008-2009.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dapat dikemukakan tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran geografi di SMAN 2 Pujut Tahun Pelajaran 2008-2009.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
- Sebagai bahan refrensi untuk memahami pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) oleh guru SMA.
- Untuk dijadikan bahan perbandingan, bagi setiap orang yang berprofesi sebagai guru agar selalu meningkatkan metode pembelajarannya.
2. Manfaat secara praktis
- Diharapkan hasil penelitian ini dapat menarik perhatian peneliti lain untuk mengadakan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang masalah yang berhubungan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah.
- Sebagai masukan kepada pihak terkait untuk mengkaji lebih jauh tentang metode pembelajarannya yang dilakukan oleh guru dalam hubungannya dengan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa yang dicapainya.
- Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan oleh pihak-pihak terkait untuk menggeneralisasikan model pembelajaran beradasarkan masalah dan prestasi belajar siswa di dalam dunia pendidikan.
1.4 Asumsi Penelitian
Asumsi atau anggapan dasar merupakan kerangka awal atau acuan yang akan memandu cara-cara berpikir di dalam suatu penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 59), “asumsi merupakan suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti”. Sedangkan menurut ahli yang lain Danim (2002: 113), “Asumsi diartikan sebagai hasil abstraksi pemikiran yang oleh peneliti dianggab benar dan dijadikan sebagai pijakan untuk mengkaji satu atau beberapa gejala”.
Berdasarkan kedua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi adalah suatu pemikiran yang diyakini oleh peneliti tentang kebenaran suatu fakta sebagai dasar untuk mengkaji suatu gejala. Sementara itu, kebenaran suatu fakta yang ada tidak perlu dibuktikan lagi. Dengan demikian, asumsi merupakan pijakan awal bagi seorang peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan lebih jauh.
Adapun asumsi yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Pembelajaran yang efektif sangat tergantung pada aspek-aspek pendukung proses pembelajaran itu sendiri seperti siswa, guru, silabus, media, metode dan lain-lain.
- Kualitas pembelajaran sangat tergantung pada model pembelajaran yang diterapkan oleh setiap guru
- Model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instruction) dapat meningkatkan kemampuan berpikir (penalaran) siswa.
1.5 Hipotesis Tindakan
Hipotesis yang diajukan dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah “Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) dapat Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran Geografi Kelas XI SMAN 2 Pujut Tahun Pelajaran 2008/2009”
Hipotesis yang diajukan dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah “Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) dapat Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran Geografi Kelas XI SMAN 2 Pujut Tahun Pelajaran 2008/2009”
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembelajaran yang Efektif
Melaksanakan pembelajaran yaitu kegiatan mengajar yang dilakukan guru untuk membimbing siswa dalam kegiatan belajar dalam rangka melaksana- kan kurikulum yang berpedoman kepada kesiapan mengajar yang telah dibuat terlebih dahulu (Winataputra, 2005: 1.3). Kegiatan mengajarnya guru dan belajarnya siswa tersebut terangkai dalam sebuah proses yang disebut sebagai proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang integral antara siswa sebagai pelajar dan guru sebagai pengajar. Dalam kegiatan ini, terjadi interaksi yang reciprocal, yaitu hubungan antara guru dengan para siswa dalam situasi pembelajaran (Mukhtar dan Rusmini, 2005: 1). Dalam situasi pembelajaran tersebut terjadi interaksi antara kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dengan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Hal ini sebut sebagai interaksi belajar mengajar.
Untuk memahami konsep pembelajaran yang efektif, maka di bawah ini akan dijelaskan pengertian tentang belajar dan mengajar sebagai bagian dari kombinasi tersusun dalam kegiatan dan tahapan proses pembelajaran.
2.1.1 Pengertian Belajar
Belajar merupakan masalah yang selalu aktual dan dihadapi oleh setiap orang. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengertian yang obyektif tentang perkataan belajar terutama belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas berdasarkan pendapat para ahli.
Pertama, menurut Slameto (1995: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pendapat ini memberikan penekanan pada usaha dan proses belajar untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang lebih baik. Ini berarti bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan dalam diri seseorang yang ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan pengetahuan, kecakapan, daya pikir, sikap, kebiasaan dan lain-lain.
Kedua, menurut Aqip (2003: 43), belajar adalah proses perubahan di dalam diri manusia. Pendapat ini memberikan makna yang sangat umum tidak hanya mengenai bidang intelektual, akan tetapi mengenai seluruh pribadi anak. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali sifat maupun jenisnya, karena itu, sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Misalnya kaki seseorang anak menjadi bengkok karena terjatuh dari sepeda motor, kemudian perubahan tingkah laku seseorang yang berada dalam keadaan mabuk dan sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi seperti contoh di atas tentu tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan dalam arti belajar. Karena aktivitas belajar itu sendiri merupakan aktivitas yang disadari dan mempunyai tujuan, seperti yang diungkapkan oleh Sardiman (2001: 55) bahwa pendidikan dan pembelajaran adalah suatu proses yang sadar akan tujuan.
Ketiga, menurut Winataputra (2005: 2.4) menyatakan bahwa belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Seseorang dikatakan belajar bila pikiran dan perasaannya aktif dalam membangun makna dan pemahaman. Pemahaman berarti bahwa seseorang (siswa, mahasiswa) mampu memahami atau mengerti apa yang sedang dikomunikasikan kepadanya dan dapat mempergunakan materi yang dikomunikasikan tadi tanpa perlu menghubungkannya dengan materi lain (Winataputra dan Rosita, 1996: 181). Atau dengan kata lain, pikiran dan perasaan kita harus mampu memahami makna dari apa yang dikomunikasikan. Itulah yang dimaksudkan pikiran dan perasaan aktif. Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati oleh orang lain kecuali orang yang bersangkutan (orang yang sedang belajar). Tetapi manipestasi dari kegiatan seseorang sebagai akibat dari aktivitas pikiran dan perasaan seseorang yang sedang belajar dapat diamati. Inilah yang sebenarnya yang menjadi inti penekanan dari pendapat ketiga ini. Contoh manipestasi akibat aktivitas berpikir dan merasakan ini misalnya : siswa bertanya, siswa menjawab pertanyaan, siswa menanggapi, siswa diskusi, siswa memecahkan masalah, siswa mengamati sesuatu, siswa melaporkan hasil pekerjaannya, siswa membuat rangkuman dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli di atas, dapat di-
simpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan dalam diri seseorang yang ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku yang lebih baik sebagai akibat dari aktivitas mental dan emosional dalam belajar.
2.1.2 Pengertian Mengajar
Untuk memperoleh pengertian yang obyektif tentang perkataan mengajar, maka penulis memandang perlu dirumuskan secara jelas berdasarkan pandangan dan pendapat para ahli.
Pertama, menurut William Burton “Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for purpose of aiding the pupil learn”. Artinya, mengajar itu memimpin kegiatan belajar dan bermaksud untuk membantu siswa dalam belajarnya. (dalam Fajar, 2004: 13). Dalam pengertian ini memberikan makna bahwa mengajar itu adalah memberikan pemahaman kepada si-belajar dalam suatu situasi yang dipimpin oleh guru agar siswa belajar dengan efektif. Misalnya, guru memberikan instruksi (sebagai bagian dari tugas memimpin) kepada siswa untuk membaca, latihan, penyelidikan dan lain-lain.
Kedua, menurut Mursell dan Nasution (2002: 8), mengajar adalah mengorganisasikan pelajaran. Penekanan dari pendapat tersebut adalah peng-organisasian pada hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan guru dalam mendukung proses pembelajaran mulai dari kegiatan perencanaan sampai pada tahap evaluasi.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah kegiatan membelajarkan siswa, yaitu memberikan pemahaman kepada si-belajar (siswa) di bawah bimbingan guru. Dalam membelajarkan siswa tersebut, paling tidak ada tiga pekerjaan pokok yang harus dilakukan yaitu : (1) membuat perencanaan mengajar, (2) melaksanakan pembelajaran, dan (3) menilai proses dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan simpulan tersebut, penulis memberikan pemaknaan terhadap pengertian mengajar pada dua sisi yakni : pertama, mengajar dipandang sebagai kegiatan menciptakan situasi dimana diharapkan anak-anak (siswa) akan belajar dengan efektif, dan kedua, mengajar dipandang sebagai menyusun sejumlah kegiatan-kegiatan dalam hidup sekelompok manusia yang belajar.
Kaitannya dengan sisi yang pertama, kegiatan pengajaran yang dilakukan guru harus dirancang sedemikian rupa untuk mencapai suatu situasi dan kondisi yang kondusif. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Harjanto (2005: 96) bahwa pengajaran itu adalah suatu kegiatan di mana seseorang dengan sengaja diubah dan dikontrol, dengan maksud agar ia dapat bertingkah laku atau bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu. Guru berkewajiban menciptakan suatu iklim belajar yang memungkinkan siswa lebih aktif.
Kaitannya dengan sisi kedua, kegiatan pengajaran yang dilakukan guru harus direncanakan dan disesuaikan dengan kondisi sekolah dan daerah. Dalam kurikulum 2004, guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah (Majid, 2005: 4). Dalam hal ini guru berkewajiban untuk menyusun dan merancang sendiri strategi pengajarannya yang cocok yang dapat mempermudah siswa tumbuh berkembang sesuai dengan maksud penciptaannya. Fungsi guru dalam hal tersebut adalah berupaya untuk memilih dan memilah, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan dapat membantu kemudahan, kecepatan, kebiasaan, dan kesenangan murid mempelajari pelajaran yang diajarkan. Pengajaran merupakan upaya membantu siswa mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya yang bertujuan agar intelektual setiap siswa berkembang optimal.
Pertama, menurut William Burton “Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for purpose of aiding the pupil learn”. Artinya, mengajar itu memimpin kegiatan belajar dan bermaksud untuk membantu siswa dalam belajarnya. (dalam Fajar, 2004: 13). Dalam pengertian ini memberikan makna bahwa mengajar itu adalah memberikan pemahaman kepada si-belajar dalam suatu situasi yang dipimpin oleh guru agar siswa belajar dengan efektif. Misalnya, guru memberikan instruksi (sebagai bagian dari tugas memimpin) kepada siswa untuk membaca, latihan, penyelidikan dan lain-lain.
Kedua, menurut Mursell dan Nasution (2002: 8), mengajar adalah mengorganisasikan pelajaran. Penekanan dari pendapat tersebut adalah peng-organisasian pada hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan guru dalam mendukung proses pembelajaran mulai dari kegiatan perencanaan sampai pada tahap evaluasi.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah kegiatan membelajarkan siswa, yaitu memberikan pemahaman kepada si-belajar (siswa) di bawah bimbingan guru. Dalam membelajarkan siswa tersebut, paling tidak ada tiga pekerjaan pokok yang harus dilakukan yaitu : (1) membuat perencanaan mengajar, (2) melaksanakan pembelajaran, dan (3) menilai proses dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan simpulan tersebut, penulis memberikan pemaknaan terhadap pengertian mengajar pada dua sisi yakni : pertama, mengajar dipandang sebagai kegiatan menciptakan situasi dimana diharapkan anak-anak (siswa) akan belajar dengan efektif, dan kedua, mengajar dipandang sebagai menyusun sejumlah kegiatan-kegiatan dalam hidup sekelompok manusia yang belajar.
Kaitannya dengan sisi yang pertama, kegiatan pengajaran yang dilakukan guru harus dirancang sedemikian rupa untuk mencapai suatu situasi dan kondisi yang kondusif. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Harjanto (2005: 96) bahwa pengajaran itu adalah suatu kegiatan di mana seseorang dengan sengaja diubah dan dikontrol, dengan maksud agar ia dapat bertingkah laku atau bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu. Guru berkewajiban menciptakan suatu iklim belajar yang memungkinkan siswa lebih aktif.
Kaitannya dengan sisi kedua, kegiatan pengajaran yang dilakukan guru harus direncanakan dan disesuaikan dengan kondisi sekolah dan daerah. Dalam kurikulum 2004, guru diberikan kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah (Majid, 2005: 4). Dalam hal ini guru berkewajiban untuk menyusun dan merancang sendiri strategi pengajarannya yang cocok yang dapat mempermudah siswa tumbuh berkembang sesuai dengan maksud penciptaannya. Fungsi guru dalam hal tersebut adalah berupaya untuk memilih dan memilah, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan dapat membantu kemudahan, kecepatan, kebiasaan, dan kesenangan murid mempelajari pelajaran yang diajarkan. Pengajaran merupakan upaya membantu siswa mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya yang bertujuan agar intelektual setiap siswa berkembang optimal.
2.1.3 Pembelajaran yang Efektif
Berdasarkan pada pengertian belajar dan mengajar yang telah dipaparkan di atas, maka pembelajaran itu merupakan upaya untuk membelajarkan siswa melalui kegiatan kombinasi antara aktivitas belajarnya siswa dan aktivitas mengajarnya guru, dalam rangka mengembangkan potensi intelektual siswa secara optimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif, maka perlu dibuat suatu iklim belajar yang kondusif yang memungkinkan berlangsungnya suatu pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran akatif, aktivitas belajarnya siswa dan aktivitas mengajarnya guru harus aktif. Hal ini sejalan dengan pendapat- nya Muhadjir (2003: 137-138) bahwa : pembelajaran aktif mengkonsepsikan keseimbangan antara otoritas pendidik dengan kedaulatan subyek didik, yakni: keseimbangan antara aktivitas belajarnya siswa dan aktivitas mengajarnya guru. Pendapat ini memberikan makna bahwa dalam pembelajaran aktif, operasionalisasinya harus mengarah ke kadar keterlibatan subyek didik (siswa) setinggi mungkin, karena cara belajar aktif diyakini sebagai sumber kesuksesan belajar bagi siswa.
Oleh karena itu, siswa harus diberikan kesempatan seluas mungkin untuk:
pertama, menyerap informasi masuk dalam struktur kognisinya, kedua, menghayati sendiri peristiwa yang dipelajari agar terjadi proses afektif dan internalisasi nilai, dan ketiga, melakukan langsung aktivitas operasionalnya sehingga memiliki konseptualisasi teoritik dan praktek.
2.2 Konsep Tentang Model Pembelajaran Geografi
2.2.1 Pengertian dan Tujuan Mata Pelajaran Geografi
Geografi dapat didifinisikan sebagai ilmu yang mempelajari/mengkaji tentang bumi dan segala sesuatu yang ada di atasnya seperti penduduk, fauna, flora, iklim, udara dan segala interaksinya (Wardiyatmoko, 2004: 1).
Berdasarkan keputusan Lokakarya Nasional di Semarang pada tanggal 19 April 1988, batasan/pengertian geografi adalah ilmu yang mempengaruhi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan gejala geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan (Iskandar, 1996: 2).
Dari pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa geografi adalah studi tentang gejala-gejala permukaan bumi secara keseluruhan dalam hubungan dengan interaksi keruangan.
Tujuan mata pelajaran geografi di sekolah menengah menurut Fajar (2004: 124 –125) meliputi tiga aspek sebagai berikut:
1) Pengetahuan
a) Mengembangkan konsep dasar geografi yang berkaitan dengan pola keruangan dan proses-prosesnya.
b) Mengembangkan pengetahuan sumber daya alam, peluang dan keterbatasannya untuk dimamfaatkan.
c) Mengembangkan konsep dasar geografi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar, dan wilayah negara/dunia.
2) Keterampilan
a) Mengembangkan keterampilan mengamati lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan binaan.
b) Mengembangkan keterampilan mengumpulkan, mencatat data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek keruangan.
c) Mengembangkan keterampilan analisis, sintesis, kecendrung-an dan hasil-hasil dari interaksi berbagai gejala geografis.
3) Sikap
a) Menumbuhkan kesadaran terhadap perubahan fenomena geografi yang terjadi di lingkungan sekitar.
b) Mengembangkan sikap melindungi dan tanggung jawab terhadap kualitas lingkungan hidup.
c) Mengembangkan kepekaan terhadap permasalahan dan pemamfaatan sumber daya.
d) Mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan sosial dan budaya.
e) Mewujudkan rasa cinta tanah air dan persatuan bangsa.
Untuk merealisasikan tujuan pembelajaran tersebut perlu adanya model pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan potensi serta kompetensi yang dimiliki siswa, baik potensi kognitif, afektif dan psikomotor untuk menghadapi lingkungan hidupnya, baik fisik maupun sosial budaya di mana mereka hidup kini dan hari esok.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran akatif, aktivitas belajarnya siswa dan aktivitas mengajarnya guru harus aktif. Hal ini sejalan dengan pendapat- nya Muhadjir (2003: 137-138) bahwa : pembelajaran aktif mengkonsepsikan keseimbangan antara otoritas pendidik dengan kedaulatan subyek didik, yakni: keseimbangan antara aktivitas belajarnya siswa dan aktivitas mengajarnya guru. Pendapat ini memberikan makna bahwa dalam pembelajaran aktif, operasionalisasinya harus mengarah ke kadar keterlibatan subyek didik (siswa) setinggi mungkin, karena cara belajar aktif diyakini sebagai sumber kesuksesan belajar bagi siswa.
Oleh karena itu, siswa harus diberikan kesempatan seluas mungkin untuk:
pertama, menyerap informasi masuk dalam struktur kognisinya, kedua, menghayati sendiri peristiwa yang dipelajari agar terjadi proses afektif dan internalisasi nilai, dan ketiga, melakukan langsung aktivitas operasionalnya sehingga memiliki konseptualisasi teoritik dan praktek.
2.2 Konsep Tentang Model Pembelajaran Geografi
2.2.1 Pengertian dan Tujuan Mata Pelajaran Geografi
Geografi dapat didifinisikan sebagai ilmu yang mempelajari/mengkaji tentang bumi dan segala sesuatu yang ada di atasnya seperti penduduk, fauna, flora, iklim, udara dan segala interaksinya (Wardiyatmoko, 2004: 1).
Berdasarkan keputusan Lokakarya Nasional di Semarang pada tanggal 19 April 1988, batasan/pengertian geografi adalah ilmu yang mempengaruhi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan gejala geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan (Iskandar, 1996: 2).
Dari pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa geografi adalah studi tentang gejala-gejala permukaan bumi secara keseluruhan dalam hubungan dengan interaksi keruangan.
Tujuan mata pelajaran geografi di sekolah menengah menurut Fajar (2004: 124 –125) meliputi tiga aspek sebagai berikut:
1) Pengetahuan
a) Mengembangkan konsep dasar geografi yang berkaitan dengan pola keruangan dan proses-prosesnya.
b) Mengembangkan pengetahuan sumber daya alam, peluang dan keterbatasannya untuk dimamfaatkan.
c) Mengembangkan konsep dasar geografi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar, dan wilayah negara/dunia.
2) Keterampilan
a) Mengembangkan keterampilan mengamati lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan binaan.
b) Mengembangkan keterampilan mengumpulkan, mencatat data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek keruangan.
c) Mengembangkan keterampilan analisis, sintesis, kecendrung-an dan hasil-hasil dari interaksi berbagai gejala geografis.
3) Sikap
a) Menumbuhkan kesadaran terhadap perubahan fenomena geografi yang terjadi di lingkungan sekitar.
b) Mengembangkan sikap melindungi dan tanggung jawab terhadap kualitas lingkungan hidup.
c) Mengembangkan kepekaan terhadap permasalahan dan pemamfaatan sumber daya.
d) Mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan sosial dan budaya.
e) Mewujudkan rasa cinta tanah air dan persatuan bangsa.
Untuk merealisasikan tujuan pembelajaran tersebut perlu adanya model pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan potensi serta kompetensi yang dimiliki siswa, baik potensi kognitif, afektif dan psikomotor untuk menghadapi lingkungan hidupnya, baik fisik maupun sosial budaya di mana mereka hidup kini dan hari esok.
2.2.2 Model Pembelajaran Geografi
Secara umum istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan suatu kegiatan (Harjanto, 2005: 51). Sedangkan menurut Briggs (1988: 23), model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan metode pembelajaran, pemilihan media, dan evaluasi.
Sesuai dengan pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.
Berbicara mengenai model pembelajaran geografi, maka menyangkut tentang prosedur-prosedur atau tahapan-tahapan dalam melakukan proses pembelajaran bidang studi geografi, meliputi : pertama, mencakup upaya memilah dan memilih bahan berdasarkan karakteristik mata pelajaran tersebut. Kedua, menyangkut proses pembelajarannya yaitu merencanakan pembelajaran, menentu-kan tujuan pembelajaran, mempersiapkan dan menguasai materi, pendekatan, metode dan media yang digunakan beserta dengan alat evaluasinya dalam pembelajaran.
Secara umum pembelajaran Geografi harus mampu memperluas wawasan keilmuan siswa sesuai dengan karakteristik dari mata pelajaran IPS Geografi (lihat Kurikulum SMA, 2004) dan hal ini harus dipraktekkan di dalam kelas.
Strategi pembelajaran yang disarankan lebih mengutamakan pendekatan heuristik dibandingkan dengan pendekatan ekspositorik (Ketut Rindjin, 1999: 13). Pendekatan ini menekankan pada cara belajar yang menjadikan siswa aktif yang menekankan pada pengkonsepsian keseimbangan antara otoritas pendidik dengan kedaulatan subyek-didik, keseimbangan antara aktivitas belajarnya siswa dan mengajarnya guru.
Pendekatan keterampilan proses merupakan bagian dari pendekatan belajar aktif, dimana keterampilan proses merupakan keterampilan tentang bagaimana harus belajar secara efektif, bagaimana berperan secara aktif (baik cara belajarnya siswa maupun mengajarnya guru) secara fisik, mental maupun sosial dalam kegiatan belajar mengajar (Dirawat, 1993: 31).
Sesuai dengan pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.
Berbicara mengenai model pembelajaran geografi, maka menyangkut tentang prosedur-prosedur atau tahapan-tahapan dalam melakukan proses pembelajaran bidang studi geografi, meliputi : pertama, mencakup upaya memilah dan memilih bahan berdasarkan karakteristik mata pelajaran tersebut. Kedua, menyangkut proses pembelajarannya yaitu merencanakan pembelajaran, menentu-kan tujuan pembelajaran, mempersiapkan dan menguasai materi, pendekatan, metode dan media yang digunakan beserta dengan alat evaluasinya dalam pembelajaran.
Secara umum pembelajaran Geografi harus mampu memperluas wawasan keilmuan siswa sesuai dengan karakteristik dari mata pelajaran IPS Geografi (lihat Kurikulum SMA, 2004) dan hal ini harus dipraktekkan di dalam kelas.
Strategi pembelajaran yang disarankan lebih mengutamakan pendekatan heuristik dibandingkan dengan pendekatan ekspositorik (Ketut Rindjin, 1999: 13). Pendekatan ini menekankan pada cara belajar yang menjadikan siswa aktif yang menekankan pada pengkonsepsian keseimbangan antara otoritas pendidik dengan kedaulatan subyek-didik, keseimbangan antara aktivitas belajarnya siswa dan mengajarnya guru.
Pendekatan keterampilan proses merupakan bagian dari pendekatan belajar aktif, dimana keterampilan proses merupakan keterampilan tentang bagaimana harus belajar secara efektif, bagaimana berperan secara aktif (baik cara belajarnya siswa maupun mengajarnya guru) secara fisik, mental maupun sosial dalam kegiatan belajar mengajar (Dirawat, 1993: 31).
2.2.3 Pentingnya Penerapan pendekatan pembelajaran Geografi
Penerapan pendekatan pembelajaran merupakan salah satu bentuk pembaharuan sistem instruksional yang banyak dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan, dengan maksud agar sistem tersebut dapat lebih serasi dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, serasi pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Menurut Karti Soeharto (2003: 19), pengembangan sistem pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasikan, mengembangkan, dan mengevaluasi serta memanfaatkan komponen sistem pembelajaran untuk mencapi tujuan pembelajaran tertentu. Prinsip dasar pengembangan sistem pembelajaran adalah; (1) berfokus pada siswa atau pihak yang belajar, (2) menggunakan pendekatan sistem, dan (3) memaksimalkan penggunaan berbagai sumber belajar.
Utomo dan Ruijter (1994: 9) menyarankan pentingnya kita menyesuaikan pendidikan dengan berbagai alasan, yakni : (1) kebijakan pemerintah berubah, (2) hasil belajar kurang memuaskan, (3) kelompok siswa berlainan atau jumlahnya berubah, (4) perubahan dalam mata pelajaran yang lain, (5) mata pelajaran yang kurang aktual dan sebagainya. Semua itu merupakan alasan bagi guru untuk memikirkan penerapan pendekatan pembelajarannya.
Penerapan pendekatan pembelajaran itu harus selalu didasarkan atas
evaluasi pembelajaran, walaupun keterangan itu hanya sedikit atau bersifat kualitatif.
Menurut Karti Soeharto (2003: 19), pengembangan sistem pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasikan, mengembangkan, dan mengevaluasi serta memanfaatkan komponen sistem pembelajaran untuk mencapi tujuan pembelajaran tertentu. Prinsip dasar pengembangan sistem pembelajaran adalah; (1) berfokus pada siswa atau pihak yang belajar, (2) menggunakan pendekatan sistem, dan (3) memaksimalkan penggunaan berbagai sumber belajar.
Utomo dan Ruijter (1994: 9) menyarankan pentingnya kita menyesuaikan pendidikan dengan berbagai alasan, yakni : (1) kebijakan pemerintah berubah, (2) hasil belajar kurang memuaskan, (3) kelompok siswa berlainan atau jumlahnya berubah, (4) perubahan dalam mata pelajaran yang lain, (5) mata pelajaran yang kurang aktual dan sebagainya. Semua itu merupakan alasan bagi guru untuk memikirkan penerapan pendekatan pembelajarannya.
Penerapan pendekatan pembelajaran itu harus selalu didasarkan atas
evaluasi pembelajaran, walaupun keterangan itu hanya sedikit atau bersifat kualitatif.
2.3 Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah
2.3.1 Pengertian Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Secara garis besar pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instuction) didasari merupakan model pembelajaran yang menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri (Ibrahim, 2005: 4). Pendapat tersebut memberikan penekanan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah berusaha untuk membuat suatu sknario pembelajaran untuk melatih siswa memecahkan masalah nyata sehari-hari (autentik), dan merupakan kebutuhan yang sangat berarti bagi hidupnya di masa-masa yang akan datang (bermakna). Dalam skenario pembelajaran itu, siswa-siswa diberikan peran untuk memerankan orang dewasa dalam memecahkan masalah nyata sehari-hari (autentik).
Pendapat kedua tentang pengertian pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instuction) dikemukakan oleh Pidarta (1995: 55) bahwa pembelajaran berdasarkan masalah merupakan upaya untuk membimbing para siswa atau mahasiswa belajar dengan cara berpikir sendiri atas dasar konsep-konsep yang relevan dengan masalah itu. Pendapat ini memberikan pemaknaan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah adalah upaya untuk memberikan pemahaman kepada siswa cara belajar secara mandiri (CBSM).
Terkait mengenai CBSM tersebut, Ketut Rindjin (1999: 14) menegaskan bahwa: cara belajar secara mandiri ini berarti siswa merencanakan sendiri apa yang akan dipelajari, kapan belajarnya, di mana mendapatkan bahan yang akan dipelajari, dengan siapa ia belajar, bagaimana cara belajar, sejauh manakah pencapaian hasil belajarnya, dan kalau kurang berhasil apakah sebabnya. Cara belajar secara mandiri bukan hanya berguna selagi masih studi, tetapi juga untuk hidup selanjutnya. Bukankah manusia mempunyai potensi alami untuk belajar dengan inisiatif sendiri, yang melibatkan perasaan, intelektual dan partisipasi aktif adalah paling bermakna.
Berdasarkan pemahaman yang dapat kita petik dari pendapat yang kedua ini, maka ciri yang lain dari pembelajaran berdasarkan masalah adalah siswa dilatih untuk belajar secara mandiri. Menurut Ibrahim (2005: 5), siswa yang mandiri (otonom) adalah siswa yang percaya kepada keterampilan intelektual dan kemampuan mereka sendiri, memerlukan keterlibatan aktif dalam lingkungan yang berorientasi pada inkuiri. Dalam rangka memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual tersebut, maka guru perlu melakukan pembimbingan secara scaffolding, yaitu suatu karangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual tersebut.
Scaffolding merupakan proses bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada seseorang yang lebih sedikit pengetahuannya untuk menuntas-kan suatu masalah melampaui tingkat pengetahuannya pada saat ini (Ibrahim, 2005: 9). Pada scaffolding, bimbingan pada tahap pertama dilakukan secara ketat dengan diberikan pembimbingan, kemudian berangsur-angsur pembimbingan tersebut diperlonggar, dan kemudian selanjutnya tanggung jawab belajar diambil alih oleh siswa secara mandiri. Lingkungan belajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah adalah berpusat pada siswa dan mendorong inkuiri terbuka dan berpikir bebas. Seluruh proses belajar mengajar yang berorientasi pada model pembelajaran berdasarkan masalah adalah membantu siswa untuk menjadi mandiri.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana pengertian model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instuction) sebagai suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik awal untuk mengakuisisi pengetahuan baru. Penekanan dari simpulan ini adalah siswa belajar menggunakan masalah autentik tertentu untuk belajar memahami konten (isi) pelajaran, dan sebaliknya siswa belajar keketampilan khusus menggunakan sarana konten (isi) pelajaran untuk memecahkan masalah.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah memiliki sintaks yang terstruktur dengan tahapan yang jelas, norma di sekitar pembelajaran adalah inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Guru harus dapat mengelompokkan mereka baik untuk tugas di sekolah maupun tugas di rumah, untuk saling bertukar pendapat.
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari pembelajaran berdasarkan masalah menurut Ibrahim (2005: 5) adalah sebagai berikut :
1. Pemahaman dibangun melalui pengalaman.
2. Arti atau makna diciptakan dari usaha untuk menjawab pertanyaan dan masalah kita sendiri.
3. Instink alami siswa untuk melakukan penyelidikan dan kreasi, seharusnya dikembangkan.
4. Strategi yang berpusat pada siswa mampu membangun keterampilan berpikir kritis dan bernalar, dan dalam perkembangan lebih lanjut akan mengembang-kan kreativitas dan kemandirian.
Pendapat kedua tentang pengertian pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instuction) dikemukakan oleh Pidarta (1995: 55) bahwa pembelajaran berdasarkan masalah merupakan upaya untuk membimbing para siswa atau mahasiswa belajar dengan cara berpikir sendiri atas dasar konsep-konsep yang relevan dengan masalah itu. Pendapat ini memberikan pemaknaan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah adalah upaya untuk memberikan pemahaman kepada siswa cara belajar secara mandiri (CBSM).
Terkait mengenai CBSM tersebut, Ketut Rindjin (1999: 14) menegaskan bahwa: cara belajar secara mandiri ini berarti siswa merencanakan sendiri apa yang akan dipelajari, kapan belajarnya, di mana mendapatkan bahan yang akan dipelajari, dengan siapa ia belajar, bagaimana cara belajar, sejauh manakah pencapaian hasil belajarnya, dan kalau kurang berhasil apakah sebabnya. Cara belajar secara mandiri bukan hanya berguna selagi masih studi, tetapi juga untuk hidup selanjutnya. Bukankah manusia mempunyai potensi alami untuk belajar dengan inisiatif sendiri, yang melibatkan perasaan, intelektual dan partisipasi aktif adalah paling bermakna.
Berdasarkan pemahaman yang dapat kita petik dari pendapat yang kedua ini, maka ciri yang lain dari pembelajaran berdasarkan masalah adalah siswa dilatih untuk belajar secara mandiri. Menurut Ibrahim (2005: 5), siswa yang mandiri (otonom) adalah siswa yang percaya kepada keterampilan intelektual dan kemampuan mereka sendiri, memerlukan keterlibatan aktif dalam lingkungan yang berorientasi pada inkuiri. Dalam rangka memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual tersebut, maka guru perlu melakukan pembimbingan secara scaffolding, yaitu suatu karangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual tersebut.
Scaffolding merupakan proses bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada seseorang yang lebih sedikit pengetahuannya untuk menuntas-kan suatu masalah melampaui tingkat pengetahuannya pada saat ini (Ibrahim, 2005: 9). Pada scaffolding, bimbingan pada tahap pertama dilakukan secara ketat dengan diberikan pembimbingan, kemudian berangsur-angsur pembimbingan tersebut diperlonggar, dan kemudian selanjutnya tanggung jawab belajar diambil alih oleh siswa secara mandiri. Lingkungan belajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah adalah berpusat pada siswa dan mendorong inkuiri terbuka dan berpikir bebas. Seluruh proses belajar mengajar yang berorientasi pada model pembelajaran berdasarkan masalah adalah membantu siswa untuk menjadi mandiri.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana pengertian model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based instuction) sebagai suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik awal untuk mengakuisisi pengetahuan baru. Penekanan dari simpulan ini adalah siswa belajar menggunakan masalah autentik tertentu untuk belajar memahami konten (isi) pelajaran, dan sebaliknya siswa belajar keketampilan khusus menggunakan sarana konten (isi) pelajaran untuk memecahkan masalah.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah memiliki sintaks yang terstruktur dengan tahapan yang jelas, norma di sekitar pembelajaran adalah inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Guru harus dapat mengelompokkan mereka baik untuk tugas di sekolah maupun tugas di rumah, untuk saling bertukar pendapat.
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari pembelajaran berdasarkan masalah menurut Ibrahim (2005: 5) adalah sebagai berikut :
1. Pemahaman dibangun melalui pengalaman.
2. Arti atau makna diciptakan dari usaha untuk menjawab pertanyaan dan masalah kita sendiri.
3. Instink alami siswa untuk melakukan penyelidikan dan kreasi, seharusnya dikembangkan.
4. Strategi yang berpusat pada siswa mampu membangun keterampilan berpikir kritis dan bernalar, dan dalam perkembangan lebih lanjut akan mengembang-kan kreativitas dan kemandirian.
2.3.2 Tujuan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah dilaksanakan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan intelektual dalam memecahkan masalah. Dalam model pembelajaran ini, siswa belajar sebagai pemeran orang dewasa dengan melibatkan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi. Pembelajaran berdasarkan masalah juga membuat siswa menjadi pembelajar yang otonom atau mandiri.
Berdasarkan pada konsep pembelajaran berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka secara rinci tujuan pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Dan Keterampilan Memecahkan Masalah.
Kerjasama yang dilakukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah mendorong munculnya berbagai keterampilan inkuiri dan dialog. Dengan demikian, akan berkembang keterampilan sosial dan keterampilan berpikir sekaligus. Dengan berjalannya waktu, diharapkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah semakin berkembang.
2. Pemodelan Peranan Orang Dewasa.
Siswa dengan para teman-temannya dapat berlatih berbagai peran orang
dewasa di masyarakat dalam suatu forum simulasi. Sebagai contoh seorang guru dapat mensimulasikan topik bagimana mengatasi masalah banjir di tempat tinggal siswa. Guru menyajikan berbagai data tentang lingkungan tersebut, misalnya mengenai sumber-sumber penyebab banjir dan sebagainya. Siswa-siswa selanjut-nya dapat diminta bermain peran: ada yang bertindak sebagai Kepala Desa, Ketua RT, Ketua RW, masyarakat biasa, dan sebagainya. Para warga dan masyarakat desa melakukan “rapat” mendiskusikan tentang masalah tadi dan kemudian memutuskan tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi banjir tersebut.
3. Pembelajar Mandiri atau Otonom.
Dengan pembelajaran berdasarkan masalah diharapkan siswa secara berangsur-angsur dilatih untuk menjadi pembelajar yang mandiri (self regulated learning). Seorang pembelajar yang mandiri dicirikan oleh beberapa hal, yaitu: (1) mampu secara cermat mendiagnosis situasi pembelajaran tertentu yang sedang dihadapinya, (2) mampu memilih strategi belajar tertentu untuk menyelesaikan masalah belajarnya, (3) memonitor keefektifan strategi tersebut, dan (4) cukup termotivasi untuk terlibat dalam situasi belajar tersebut sampai masalahnya terselesaikan.
Berdasarkan pada konsep pembelajaran berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka secara rinci tujuan pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Dan Keterampilan Memecahkan Masalah.
Kerjasama yang dilakukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah mendorong munculnya berbagai keterampilan inkuiri dan dialog. Dengan demikian, akan berkembang keterampilan sosial dan keterampilan berpikir sekaligus. Dengan berjalannya waktu, diharapkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah semakin berkembang.
2. Pemodelan Peranan Orang Dewasa.
Siswa dengan para teman-temannya dapat berlatih berbagai peran orang
dewasa di masyarakat dalam suatu forum simulasi. Sebagai contoh seorang guru dapat mensimulasikan topik bagimana mengatasi masalah banjir di tempat tinggal siswa. Guru menyajikan berbagai data tentang lingkungan tersebut, misalnya mengenai sumber-sumber penyebab banjir dan sebagainya. Siswa-siswa selanjut-nya dapat diminta bermain peran: ada yang bertindak sebagai Kepala Desa, Ketua RT, Ketua RW, masyarakat biasa, dan sebagainya. Para warga dan masyarakat desa melakukan “rapat” mendiskusikan tentang masalah tadi dan kemudian memutuskan tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi banjir tersebut.
3. Pembelajar Mandiri atau Otonom.
Dengan pembelajaran berdasarkan masalah diharapkan siswa secara berangsur-angsur dilatih untuk menjadi pembelajar yang mandiri (self regulated learning). Seorang pembelajar yang mandiri dicirikan oleh beberapa hal, yaitu: (1) mampu secara cermat mendiagnosis situasi pembelajaran tertentu yang sedang dihadapinya, (2) mampu memilih strategi belajar tertentu untuk menyelesaikan masalah belajarnya, (3) memonitor keefektifan strategi tersebut, dan (4) cukup termotivasi untuk terlibat dalam situasi belajar tersebut sampai masalahnya terselesaikan.
2.3.3 Ciri-Ciri Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Sebagai model pembelajaran, model pembelajaran berdasarkan masalah memiliki beberapa ciri utama yang membedakannya dari model pembelajaran yang lain. Ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik.
Tahap awal dari model pembelajaran berdasarkan masalah ditandai dengan
suatu kegiatan mengorientasikan siswa kepada masalah autentik. Pada tahap ini guru menyusun skenario yang dapat menarik perhatian siswa, sekaligus memunculkan pertanyaan yang benar-benar nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa untuk menemukan jawabannya.
Terdapat berbagai alternatif cara yang dapat dipilih oleh guru untuk mengorientasikan siswa pada masalah misalnya : (1) melakukan demonstrasi, (2) berceritera, (3) menyajikan fenomena atau, (4) melakukan eksperimen tertentu.
Agar masalah menjadi menarik, maka biasanya tahap ini disajikan dengan cara membuat konflik kognitif di dalam benak siswa.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah berpusat pada pelajaran tertentu, misalnya IPA, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagai mata pelajaran yang lain. Hal tersebut menunjukkan masalah autentik yang menunjukkan adanya kaitan interdisiplin. Misalnya masalah polusi, mencakup aspek akademis dan terapan mata pelajaran ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan lain-lain. Model pembelajaran tersebut dapat dimaknai bahwa penyajian pembelajaran berdasarkan masalah
cenderung tematis terintegrasi.
Ada tema tertentu yang menjadi topik bahasan, siswa belajar berbagai informasi yang berkaitan dengan berbagai disiplin yang berbeda. Sebagai contoh, dengan mengambil tema banjir, dapat dibahas berbagai hal terkait banjir, yakni melibatkan ilmu geografi, biologi, ekonomi, sosiologi, hukum dan sebagainya.
3. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik umtuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi atau data, melakukan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan simpulan. Metode yang digunakan sangat bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
Semua keterampilan yang disebutkan di atas, merupakan keterampilan melakukan penelitian atau pemecahan masalah. Jadi dengan demikian PBI dengan penyelidikan autentiknya, memberi peluang kepada siswa untuk sekaligus belajar bagaimana memecahkan masalah sehari-hari. Keterampilan memecahkan masalah yang dimiliki menjadikan siswa mandiri dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara berkelanjutan.
4. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya.
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artifak dan memamerkannya. Karya tersebut dapat berupa rekaman debat, laporan, model fisik, vidio, atau program komputer, surat kepada seseorang atau instansi, poster dan lain-lain. Pada tingkat yang lebih tinggi, hasil karya di dalam pembelajaran berdasarkan masalah dapat berupa makalah, tesis, atau disertasi.
1. Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik.
Tahap awal dari model pembelajaran berdasarkan masalah ditandai dengan
suatu kegiatan mengorientasikan siswa kepada masalah autentik. Pada tahap ini guru menyusun skenario yang dapat menarik perhatian siswa, sekaligus memunculkan pertanyaan yang benar-benar nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa untuk menemukan jawabannya.
Terdapat berbagai alternatif cara yang dapat dipilih oleh guru untuk mengorientasikan siswa pada masalah misalnya : (1) melakukan demonstrasi, (2) berceritera, (3) menyajikan fenomena atau, (4) melakukan eksperimen tertentu.
Agar masalah menjadi menarik, maka biasanya tahap ini disajikan dengan cara membuat konflik kognitif di dalam benak siswa.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah berpusat pada pelajaran tertentu, misalnya IPA, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagai mata pelajaran yang lain. Hal tersebut menunjukkan masalah autentik yang menunjukkan adanya kaitan interdisiplin. Misalnya masalah polusi, mencakup aspek akademis dan terapan mata pelajaran ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan lain-lain. Model pembelajaran tersebut dapat dimaknai bahwa penyajian pembelajaran berdasarkan masalah
cenderung tematis terintegrasi.
Ada tema tertentu yang menjadi topik bahasan, siswa belajar berbagai informasi yang berkaitan dengan berbagai disiplin yang berbeda. Sebagai contoh, dengan mengambil tema banjir, dapat dibahas berbagai hal terkait banjir, yakni melibatkan ilmu geografi, biologi, ekonomi, sosiologi, hukum dan sebagainya.
3. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik umtuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi atau data, melakukan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan simpulan. Metode yang digunakan sangat bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
Semua keterampilan yang disebutkan di atas, merupakan keterampilan melakukan penelitian atau pemecahan masalah. Jadi dengan demikian PBI dengan penyelidikan autentiknya, memberi peluang kepada siswa untuk sekaligus belajar bagaimana memecahkan masalah sehari-hari. Keterampilan memecahkan masalah yang dimiliki menjadikan siswa mandiri dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara berkelanjutan.
4. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya.
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artifak dan memamerkannya. Karya tersebut dapat berupa rekaman debat, laporan, model fisik, vidio, atau program komputer, surat kepada seseorang atau instansi, poster dan lain-lain. Pada tingkat yang lebih tinggi, hasil karya di dalam pembelajaran berdasarkan masalah dapat berupa makalah, tesis, atau disertasi.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pengaruh Pendekatan Belajar Dengan Menggunakan Kartu Materi Esensial Terhadap Prestasi Belajar
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/05/pengaruh-pendekatan-belajar-dengan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar