Jumat, 05 April 2013
1
komentar
1.
PENDAHULUAN
Tiang utama dari teori moneter klasik adalah J.B. Say, Irving
Fisher dan A. Marshall. J.B. Say terkenal karena hukum yang dikemukakannya,
bahwa penawaran akan selalu menciptakan permintaan (supply creates its own
demand). Artinya, bahwa suatu perekonomian tidak akan mengalami underemployment
atau apa yang oleh Malthus dinamakan underconsumption. Pengeluaran total
masyarakat akan selalu dapat mencukupi untuk menunjang produksi pada keadaan
kesempatan kerja penuh (full employment).
Namun demikian, potensi output yang
dapat hasilkan tergantung dari pada tingkat teknologi dan banyaknya faktor
produksi tenaga kerja. Makin tinggi tingkat teknologi dan makin tinggi jumlah
dan kualitas tenaga kerja tingkat output potensial yang dapat dihasilkan juga
makin besar. Artinya, tingkat full
employment ini dapat tercapai melalui bekerjanya mekanisme pasar, yang oleh
Adam Smith disebut denggan “invisible hand”.
Apabila seseorang yang ingin bekerja
tetapi tidak memperoleh pekerjaan, dia tentu akan menurunkan upah yang
dikehendaki sampai ada pengusaha yang mau mempekerjakan. Demikian juga apabila
terdapat pengusaha tidak dapat menjual semua hasil produksinya. maka dia akan
menurunkan harganya sampai terjual habis. Upah dan harga yang bebas berubah
akan mejamin selalu terdapatnya keseimbangan dalam pasar tenaga kerja dan pasar
barang sebagai hasil saling memepengaruhinya antara permintaan dan penawaran
melalui prinsip laissez faire (bebas, tanpa adanya campur tangan).
Malthus menyanggah argumentasi di
atas dengan mengatakan bahwa meskipun produksi barang dan jasa itu menimbulkan
pendapatan dalam jumlah yang sama dengan nilai total barang dan jasa, namun
tidak dapat dipastikan bahwa pengeluaran untuk pembelian mesti sama dengan
nilai barang dan jasa tersebut. Penawaran memang akan menciptakan tenaga beli (pendapatan)
namun belum menciptakan pengeluaran dengan jumlah yang sama. MisaInya, jika
masyarakat menabung terlalu banyak dari pendapatannya (lebih banyak dibanding
dengan keinginan perusahaan untuk melakukan investasi), maka ada sebagian
produksi yang tidak terjual. Akibatnya pengusaha akan memperkecil volume
produksi, sehingga akan terjadi pengangguran. Pengusaha akan terus mengurangi
produksinya, sampai sisa yang tak terjual itu habis semua, sehingga pendapatan
akan menjadi lebih rendah daripada semula.
Menurut ekonomi klasik, adanya
tabungan masyarakat tersebut tidaklah berarti dana hilang dari peredaran,
tetapi dipinjam/dipakai oleh pengusaha untuk membiayai investasinya. Penabung
mendapatkan bunga atas tabungannya, sedang pengusaha bersedia membayar bunga
tersebut selama harapan keuntungan yang diperoleh dari investasi lebih besar
dari bunga. Adanya kesamaan antara tabungan dengan investasi (misalnya, apabila
tabungan meningkat, pengeluaran investasi juga meningkat) adalah sebagai akibat
bekerjanya rnekanisme tingkat bunga. Tingakt bunga akan berfluktuasi sehingga
keinginan (desired)mengadakan investasi
oleh perusahaan sama dengan keinginan (desired) menabung menabung dari
masyarakat.
2.
TEORI KLASIK TENTANG TINGKAT BUNGA
Tabungan menurut teori klasik adalah
fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingakat bunga makin tinggi pula
keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya, pada tingkat bunga yang lebih
tinggi masyarakat akan lebih terdorong untuk mengorbankan/mengurangi
pengeluaran konsumsi guna menambah tabungan.
Investasi jugs tergantung/merupakan
fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga, keinginan untuk
melakukan investasi juga makin kecil. Alasanya, seseorang pengusaha akan
menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungaan yang diharapkan dari
investasi lebih besar dari dari tingkat bunga yang harus dia bayar untuk dana
investasi tersebut yang merupakan ongkos untuk penggunaan dana (cost of
capital). Makin rendah tingkat bunga, maka pengusaha akan lebih terdorong untuk
melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga makin kecil.
Tingkat
bunga dalam keadaan keseimbangan (artinya tidak ada dorongan untuk naik
atau turun) akan tercapai apabila keinginan me¬nabung masyarakat sama dengan
keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik keseimbangan
tingkat bunga dapat digambarkan dalam:
Gambar 1.1
Teori Klasik Tentang Tinggkat Bunga
Keseimbangan tingkat bunga ada pada titik 1o.
dimana jumlah tabungan sama dengan investasi. Apabila tingkat bunga di atas 1o.
jumlah melebihi keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Para penabung
akan saling bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan
tingkat bunga turun balik ke posisi 1o. Sebaliknya, apabila tingkat
bunga di bawah ini, para pengusaha akan saling bersaing untuk memperoleh dana
Yang relatif jumlahnya lebih kecil. Persaingan ini akan mendorong tingkat bunga
naik lagi ke 1o.
Kenaikan efisiensi produksi misalnya,
akan mengakibatkan ke¬untungan yang diharapkan naik. Sehingga, pada tingkat
bunga yang sama pengusaha bersedia meminjam dana lebih besar untuk membiayai
investasinya. Atau untuk dana investasi yang sama jumlahnya, pengusaha bersedia
membayar tingkat bunga yang lebih tinggi. Keadaan ini dalam Gambar 5.1,
ditunjukkan dengan bergesernya kurva permintaan investasi ke kanan atas, dan
keseimbargan tingkat bunga yang baru pada titik i1
1.
TEORI KUANTITAS UANG
Dari uraian di atas belum diperoleh
penjelasan bagaimana peranan daripada uang. Menurut paham klasik, uang tidak
mempunyai pengaruh terhadap sektor rill, tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat
bunga, kesempatan kerja atau pendapatan nasional. Pendapatan nasional
ditentukan oleh jumlah dan kualitas daripada tenaga kerja, jumlah daripada
modal yang dipakai serta teknologi. Tanpa perubahan dari faktor-faktor
produksi, maka pendapatan nasional tidak akan berubah. (Namun kaum neo-klasik,
yang kemudian sering disebut dengan moneterist, tidak mempunyai pendapat yang
ekstrim seperti di atas. Menurut mereka uang mempunyai pengaruh terhadap sektor
rill, terutama dalam keadaan belum full employment.)
Uang, pengaruhnya hanyalah terhadap
harga-harga barang. Bertam¬banya uang I radar akan mengakibatkan kenaikan harga
saja. Jumlah output yang dihasikan tidak berubah. Inilah yang sering disebut
dengan classical dichotomy, merupakan pemisahan sektor moneter dengan sektor
rill. moneter tidak ada hubungan dengan
sektor rill. uang hanya merupakan suatu tudung ("veil”) saja dalam
perekonomian. Teori kuantitas uang, yang pada dasarnya menjadi tulang punggung
adanya kesimpulan di atas.
a.
Teori Irving Fisher
Teori ini mendasarkan diri pada
falsafah hukum Say tersebut di atas, bahwa ekonomi akan selalu berada dalam
keadaan full employ¬ment. Secara sederhana, Irving Fisher merumuskan teorinya
dengan suatu persamaan:
MV = PT
Dimana M
adalah jumlah uang, V adalah tingkat perputaran uang (velocity), yakni
berapa kali suatu mata uang pindah tangan. (misalnya untuk untuk transaksi)
dari satu orang kepada orang lain, dalam suatu periode tertentu, P adalah harga
barang, dan T adalah volume barang yang menjadi obyek transaksi.
Persamaan di atas merupakan suatu
identitas (identity), sebab selalu benar. Artinya, jumlah unit barang yang
ditransaksikan (T) dikalikan dengan harganya (nilai barang tersebut)
harus/selalu sama dengan jumlah uang (M) dikalikan dengan perputaran ( total
peneluaran transaksi). Dengan kata lain , total pengeluaran (MV) sama dengan
nilai barang yang dibeli (PT)
b.
Cambridge/Marshell Equition
Marshall memandang persamaan Irving
Fisher dengan sedikit berbeda. Dan tidak menekankan pada perputaran uang
(velocity) dalam suatu periode melainkan pada bagian dari pendapatan (GNP) yang
diujudkan dalam bentuk uang kas. Secara matematika sedemana, teori Marshall
dapat dituliskan sebagai berikut :
M = k Py
Di mana k adalah proporsi/bagian dari
GNP yang diujudkan dalam bentuk uang kas, jadi besarnya sama dengan Marshall
tidak menggunakan volume transaksi (T) sebagai alat pengukur jumlah output,
tetaci diganti dengan Y (untuk menunjukkan
GNP rill). Jadi, T pada umumnya lebih besar daripada Y, sebab dalam.
pengertian T termasuk juga total transaksi barang akhir dan atau setengah jadi
yang dihasilkan beberapa tahun lampau. Sedang, dalam GNP hanyalah mencakup
barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun tertentu saja. Juga, dalam GNP tidak
termasuk barang setengah jadi.
Esensi dari persamaan Irving Fisher tidaklah berbeda
dengan Per-samaan Marshall ditinjau dari segi matematis, sehingga masih juga
merupakan suatu identitas. Namun demikian, orentasinya berbeda. Persamaan
Marshall sudah dapat dikatakan merupakan persamaan yang menunjukkan adanya
permintaan akan uang, di mana masyarakat meng¬hendaki sebagian tertentu dari
pendapatannya dalam bentuk uang kas (ditunjukkan dengan k).
Dengan demikian persamaan Marshall
tidak lagi merupakan persamaan pertukaran atau identitas (seperti halnya pada
persamaan Irving Fisher), tetapi telah
merupakan persamaan teori kuantitas uang ( dalam arti telah terkandung di
dalamnya pengertian permintaan akan uang, yang kemudian sering disebut
persamaan cash-balance).
Menurut teori kuantitas uang,
perubahan jumlah, uang yang beredar akan mengakibatkan perubahan harga secara
proporsional. artinya, kalau jumlah uang naik dua kali, maka harga akan naik
dua kali juga. Pandangan demikian didasarkan pada anggapaan-anggapan sebagai
berikut:
a. Dalam Persamaan MV = PT, T dianggap kareana selalu berada dalam
keadaan full employment (atas dasar hukum Say).
b. Velocity juga dianggap tetap.
Velocity ini hannya akan berubah kalau terjadi perubahan dalam kebiasaan
masyarakat melakukan pembayaran masyarakat melakukan pembayaran. Seperti
misalnya penggunaan alat-alat pembayaran baru akan mempengaruhi banyaknya
transaksi yang dilakukan. Demikian juga, kebiasaan pembayaran dengan kredit,
akan mendorong masyarakat masyarakat lebih banyak melakukan transaksi sehingga
velocity-nya akan naik, Biasanya, perubahan dalam waktu yang relative lama)
sehingga dengan demikina velocity dapat pula dianggap tidak berubah. Dalam
persamaan Marshall, maka sebagai konsekuensinya (karena k = 1/v) dapat pula
dianggap tetap.
Implikasi dari kedua anggapan ini
adalah: bahwa jumlah uang beredar hanyalah empengaruhi harga, dan pengaruhnya
porposional. Uang, tidak dapat mempengaruhi output rill (Y). Output rill ini
hanya akan berubah kalau terdapat perubahan dalam jumlah dan kualita dari
factor-¬faktor produksi. Dengan demikian, uang tidak dapat mempengaruhi sektor
rill, pengaruhnya terbatas pada sektor moneter saja. Pemisahan pengaruh uang
terhadap sektor rill dan moneter inilah yang sering disebut dengan classical
dichotomy.
Hubungan proporsional antara jumlah
uang dengan harga dapatlah dijelaskan sebagai berikut: apabila V dan Y
masing-masing tetap pada nilai 4 dan 100. Maka dengan jumlah uang yang beredar
(M) = 25, harga (P)
akan sama dengan 1 : MV = PT
25x4=1 x100
Jika M naik dua kali, menjadi 50
maka. P akan naik dua kali, 50x 4 = 2 x 100. Secara ringkas proses kenaikan harga
ini dapat dijelaskan demikian. Pada permulaannya masyarakat dalam keadaan
keseimbangan portfolio-nya. Kemudian bank sentral menambah jumlah uang beredar
dua kali lipat. Akibatnya masyarakat mengalami ketidakseimbangan dalam
portfolio-nya, yakni kelebihan uang kas yang dipegang. Mereka akan
membelanjakan (membeli barang atau jasa) kelebihan uang kas yang dipegang.
Karma output total tidak bisa bertambah (dalam keadaan full employment, dengan
hukum Say), maka harga akan terdorog naik. Masyarakat akan terus membelanjakan
kelebihan, uang kasnya sampai total pengeluaran naik dua kali lipa. Karena output rill
tetap, kenaikan pengeluaran dua kali akan menyebabkan harga juga naik
dua kali. Hasil akhirnya: jumlah uang yang dipegang masyarakat naik dua kali.
GNP nominal (PY) naik dua kali, harga naik dua kali, velocity dan output rill
tetap seperti semula (sebelum adanya penambahan jumlah uang.
Hubungan yang proporsional antara
jumlah uang dengan harga seperti diatas dapat pula dijelaskan dengan
menggunakan persamaan Marshall,misalnya, k ¼ berarti bagian dari GNP diujudkan
dalam bentuk uang kas) apabila GNP (PY) sama dengan RP400 maka keinginan
masyarakat memegang uang kas sama dengan Rp 100
miliar, yakn
M = kPY
= ¼ x Rp 400 M
= Rp 100 M
Jika GNP naik menjadi Rp800 miliar,
maka besarnya uang kas yang di¬inginkan masyarakat menjadi Rp200 miliar. Dengan
demikian jelas bahwa persamaan Marshall dapat menunjukkan adanya
keinginan/per¬mintaan akan uang kas. Permintaan uang kas ini semata-mata untuk
tujuan melakukan transaksi. Besar kecilnya k dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti misalnya, seseorang yang mendapat pembayaran gaji 4 kali sebulan, akan
lebih kecil bila dibandingkan dengan orang yang gajinya dibayarkan sekali
sebulan. Demikian juga dengan makin majunya lalu lintas pembayaran (dengan
adanya credit card, misalnya) k akan cenderung makin kecil.
Memandang persamaan cash-balance
sebagai persamaan permintaan akan uang, maka apabila jumlah uang naik dua kali,
harga juga akan naik dua kali sampai permintaan akan uang sama dengan jumlah
uang. Apabila jumlah uang naik dua kali, maka masyarakat akan kelebihan uang
yang dipegang. Mereka akan membelanjakan kelebihan uang ini sampai jumlah yang
diinginkan untuk dipegang sama dengan jumlah uang yang ada. Ini terjadi apabila
GNP telah naik dua kali.
Keseimbangan (permintaan dan
penawaran uang) ini dapat dilihat pula dari segi nilai rill uang. Nilai rill
uang adalah nilai nominal uang dibagi dengan harga (M/P) Dalam persamaan cash balance diatas apabila M
naik dua kali, maka P juga naik dua kali. Dengan demikian permintaan uang
(dalam arti rill) akan tetap (M/P = 2M/2P). jadi persamaan cash-balance, lebih
mementingkan permintaan uang dalam arti rill bukan hanya nilai nominal uang
yang dipegangnya.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Teori Moneter Klasik
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/teori-moneter-klasik.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
1 komentar:
HALAH LO COPAS DARI NOPIRIN AJA BANGSAT
Posting Komentar