Sabtu, 26 Januari 2013
0
komentar
Adakah diantara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil
meraih segalanya : harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah
menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa besar
sebenarnya nilai dari apa-apa yang telah kita raih selama ini.
Di sebuah harian pernah
diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong yang diberi nama telescope
Hubble. Dengan teropong ini berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan
galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan
bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat
takjub siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja
merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan
galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang
besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.
Sayangnya, seringkali orang
yang merasa telah berhasil meraih segala apapun yang dirindukannya di bumi ini
- dan dengan demikian merasa telah sukses - suka tergelincir hanya mempergauli
dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya
serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil
mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja
kerasnya semata, sedangkan ketika gagal mendapatkannya, ia pun serta merta
merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan
kambing hitamnya pada orang lain.
Orang semacam ini tentu telah
lupa bahwa apapun yang diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat
tergantung pada izin Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar
apa-apa yang dinginkannya, pasti tidak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa
haula walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul, dengan
dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.
Padahal, seharusnya kita
bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya,
sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini.
Laa khaufun alaihim walaa hum yahjanuun! Samasekali tidak ada kecemasan dalam
menghadapi urusan apapun di dunia ini. Semua ini tidak lain karena hatinya
selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan
dahsyat.
Sikap inilah sesungguhnya yang
harus senantiasa kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh
lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan
tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali membuat hati
goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan
dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita
terluka. Ini berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu
akan terus menerus terjadi.
Betapa tidak! Tabiat dunia itu
senantisa dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit.
Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti. Nah,
kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa krab
dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.
Lain halnya kalau hati kita
selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak
akan ada satu pun yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus
meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla. Di antara yang
penting yang kita perhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah bahwa kita
harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan
barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia
mencintainya."
Zuhud terhadap dunia bukan
berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih
yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita.
Bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dimiliki sama
sekali tidak akan membuat hati merasa tentram karena ketentraman itu hanyalah
apa-apa yang ada di sisi Allah.
Rasulullah SAW bersabda,
"Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan
yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia
itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa
yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)
Andaikata kita merasa lebih
tentram dengan sejumlah tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud.
Seberapa besar pun uang tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tentram
dengan jaminan Allah. Ini dikarenakan apapun yang kita miliki belum tentu
menjadi rizki kita kalau tidak ada izin Allah.
Sekiranya kita memiliki orang
tua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai
merasa tentram dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak
akan datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.
Orang yang zuhud terhadap
dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka
dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi
Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita.jangan ukur kemuliaan seseorang dengan
adanya dunia di genggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang
karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena
ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena kedudukan
dan kekayaannya, kalau meremehkan seseorang karena ia papa dan jelata, maka ini
berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya akan susah hati ini bercahaya
disisi Allah.
Mengapa demikian? Karena, hati
kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah
membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu
Allah mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan
menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.
Hendaknya dari sekarang mulai
diubah sistem kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli
suatu barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah
ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul
sederhananya, sehingga kita mersa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah
mungkin, maka mulailah merasa beruntung jikalau kita menguntungkan ibu tua
berimbang kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan
lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada
membelinya ke supermarket. Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika kita
bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.
Lain halnya dengan keuntungan
diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari
orang lain. Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi
lebih daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai
kepuasan batinnya juga.
Bagi orang-orang yang cinta
dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati,
disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat
merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu
ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain.
Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan urusan
kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah
merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.
Sungguh sangat lain bagi ahli
dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau
tidak ada imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan
banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan,
pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua
itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih
penghargaan.
Bagi ahli zuhud tidaklah
demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin,
dengan menghargai, memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan
imbalan apapun. Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa
aman dan menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang
didapatkan dari selain Dia.
Walhasil, siapapun yang
merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi
Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap
hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.
"Adakalanya nuur Illahi
itu turun kepadamu", tulis Syaikh Ibnu Atho'illah dalam kitabnya, Al
Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah
nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala
sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma'rifat dan
rahasia-rahasia."
Subhanallaah, sungguh akan
merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa,
siapapun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa
Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).
_________________________
oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar
oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Bila Hati Bercahaya
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/01/bila-hati-bercahaya.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar