Posted by Bagio Sabtu, 18 Mei 2013 0 komentar
Kriteria organisasional berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk menghasilkan keluaran yang terbaik  dari sumberdaya yang dimiliki dan dikelola. Kriteria ini melihat efektivitas organisasi koperasi  dari kemampuan koperasi memuaskan anggota melalui proses pelayanannya. Sedang kriteria lain yakni kriteria individual berkaitan dengan sejauh mana koperasi dalam proses pencapaian keluaran optimal itu dapat memberikan iklim dan suasana psikologis yang menyenangkan bagi individu-individu yang terlibat dalam proses pencapaian tujuan kriteria organisasional.
Dalam konteks koperasi mutu layanan adalah kriteria organisasional. Perhatian terhadap mutu layanan selain memiliki muatan normatif seperti yang dikemukakan oleh kelompok nominalis, yakni  charge or principle of members-promotion (Munkner, 1985), juga karena alasan strategis untuk meraih customer value melalui customer-driven seperti yang dimaksud oleh Bound (1994). Perhatian terhadap kepentingan pelanggan dengan cara melihat kebutuhan serta kepuasan atas pelayanan menjadi faktor kunci untuk keberhasilan usaha di tengah iklim persaingan yang semakin ketat.  Perbaikan kinerja front line staff merupakan kriteria individual, dimana secara fungsional berimplikasi pada perbaikan mutu layanan (Wellington,1992).
Kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk perilaku dengan tingkat kompleksitas dan komposisi tertentu. Lewin (1951) dengan teori Medan (Field theory) maupun teori Pembelajaran Sosial (Social Learning theory)  dari  Bandura (1977) dengan pola interaksi yang berbeda dengan Lewin, menyatakan pola dasar hubungan yang dimaksud. Teori Atribusi dari Batteman (1992), dan pendapat Blumberg dan Pringle (1977) menyatakan hal serupa namun lebih implementatif. Mengacu pada teori-teori tersebut  maka dapat disusun kerangka teoritis dalam penelitian seperti berikut.
Fakta empiris dalam pembangunan koperasi di Indonesia membedakan dua jenis koperasi, yakni Koperasi Unit Desa serta koperasi Non-KUD yang terdiri atas koperasi fungsional, koperasi perkotaan dan koperasi pedesaan lainnya. Perbedaan terletak pada sistem pembinaan yang diberikan pemerintah dan pola pelayanan usaha.
Berdasarkan sasaran penelitian maka digunakan metode survei, dengan dibatasi dengan metode survei contoh, yaitu dengan mengamati fenomena dengan data dan informasi sekelompok responden sebagai perwujudan refresentatif dari objek yang diteliti.
Teknis analisis menggunakan: (a)  Analisis faktor dengan dibantu oleh Uji Barlett dan Uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO Measure of sampling Adequacy) (Kerlinger,1996), (b) Analisis Jalur (Path Analysis) (Sewal Wright,1934), (c) Analisis uji beda dengan  Uji Mann-Whitney U (The Mann-Whitney U Test). Pengolahan data dilakukan melalui komputer dengan program SPSS for windows.
Penelitian dilaksanakan di Jawa Barat dengan populasi adalah pengurus dan karyawan KUD dan koperasi Non-KUD sebanyak 49.987 orang. Jumlah tersebut tersebar di 7.141 koperasi, baik KUD maupun koperasi Non-KUD. Teknik penarikan contoh digunakan adalah Two Stage Cluster Sampling.
Hasil uji statistik dengan analisis jalur menghasilkan kesimpulan, terdapat efek sinergi dari berbagai faktor yang diprediksi terhadap pembentukan kinerja anggota pengurus dan karyawan koperasi. Serta terbukti terdapat implikasi terhadap pembentukkan mutu layanan. Berdasarkan pembuktian hipotesis pertama terdapat dua faktor yang signifikan terhadap pembentukan motivasi staf yakni ciri biografis dan kepribadian individu. Ciri biografis yang memiliki karakteristik ekonomi serta kepribadian dalam konteks kerja secara signifikan berpengaruh terhadap ketersediaan dorongan untuk melaksanakan tugas
dalam pekerjaan. Keadaan ini sejalan dengan pendapat (Robbins,1996) ataupun  Sustermeister (1976) yang menyatakan, motivasi terbentuk oleh adanya interaksi “employee needs” dan “working condition”. 


(a)  Kebutuhan Staf

Masalah yang harus intensif dibahas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pegawai adalah kurang menariknya imbal kerja bagi staf. Sistem imbal kerja yang kurang menarik di koperasi antara lain disebabkan oleh adanya masalah,(1) struktural, (2) insentif ekonomi, (3) moralitas pimpinan. Ketiga masalah tersebut baik secara parsial maupun bersama-sama sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak manajemen dan pihak eksternal yang terlibat dalam pembinaan dan kepentingan usaha koperasi memiliki persepsi dan komitmen yang tepat mengenai koperasi.

(b)  Lingkungan Kerja

Lingkungan internal memiliki dampak terhadap kepribadian individu. Staf di KUD memiliki tekanan lebih kuat dibanding responden di koperasi bentuk lain. Hal ini menandakan bahwa pola town down dalam pembinaan, dengan  sistem target dijadikan instrumen penting kemudian didukung oleh pimpinan otokratis, menyebabkan anggota pengurus maupun karyawan berada pada situasi kerja dengan “tekanan” yang lebih kuat.

(c)  Motif Pemenuhan Kebutuhan Sosial

Motif pemenuhan kebutuhan sosial (gotong royong) masih mewarnai alasan keterlibatan individu dalam koperasi, hal ini sejalan dengan pendapat Herman (1995). Namun walaupun begitu, pertimbangan unsur pendapatan dalam melihat fenomena homogenitas tingkat motivasi kerja di kedua bentuk koperasi yang diamati masih dirasakan relevansinya. Terutama dilihat dari peran pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang harus tersedia. Dengan diperolehnya indikasi adanya pengaruh motivasi kerja anggota pengurus dan karyawan koperasi terhadap kinerja individu. Maka keputusan memodifikasi  faktor-faktor pembentuk motivasi secara komprehensif dapat dijadikan alternatif langkah solutif. Untuk itu perlu dilakukan, (a) perbaikan sistem imbal kerja, dan (b) menerapkan pendekatan baru dalam pelaksanaan fungsi kepemimpinan.

Masalah yang timbul dalam dalam pemenuhan kebutuhan staf serta lingkungan organisasi menyebabkan koperasi belum mampu menarik kelompok masyarakat dengan kemampuan dan entrepreuners lebih baik untuk bergabung. Kemampuan menangani pekerjaan  di koperasi membutuhkan profesionalisme dan kepekaan dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan ekonomi. Manajemen yang berkembang di koperasi umumnya mengembangkan kekuasaan tersentralisasi. Sistem seperti itu cenderung kurang merangsang tumbuhnya potensi kemampuan individu seperti yang dipersyaratkan, malahan dapat menciptakan ketergantungan yang kuat bagi bawahan.

Dominasi yang kuat dari pimpinan menjadi salah satu penyebab bawahan berkemampuan baik  tidak memiliki motivasi yang kuat dan menyebabkan ketidakpuasan pada proses kerja. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa kelompok anggota pengurus dan karyawan yang bermotivasi tinggi bukan dari kelompok berkemampuan tinggi, serta fakta adanya pengaruh yang tidak nyata terhadap kepuasan kerja. Faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja bekerja di koperasi, bagi kelompok staf berkemampuan tinggi diidentifikasikan, karena (1) materi kerja tidak menantang secara emosional, (2) imbalan yang kurang pantas, (3) kondisi kerja kurang mendukung, (4) rekan sekerja kurang mendukung, dan (5) ketidaksesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan.

Masalah yang dihadapi dalam kebijaksanaan dan praktik pembinaan sumberdaya manusia di koperasi, khususnya pada pembinan kompetensi antara lain, (a) intensitas dan relevansi pembekalan internal berupa pendidikan dan latihan, di dalam dan di luar, serta diskusi bidang kerja masih jarang dilakukan, (b) pembobotan bidang tugas kurang didukung oleh sistem perencanaan dan relevansi dengan tugas yang dijalankan, (c) keterbatasan alokasi dana internal untuk melaksanakan program pelatihan internal khususnya untuk pembinaan kompetensi.
Dengan terbuktinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap kinerja anggota pengurus dan karyawan, dan pengaruhnya lebih besar dibanding dari faktor pembentuk lainnya, maka dapat dipastikan kuatnya keterkaitan vertikal dalam proses kerja di koperasi. Keadaan ini memberikan tanda perlu adanya perbaikan kinerja kepemimpinan terus menerus agar selalu memiliki nilai relevansi dengan tantangan dan kebutuhan anggota pengurus dan karyawan .
Budaya organisasi secara kontinyu diterapkan dalam organisasi koperasi. Akan tetapi anggota pengurus dan karyawan yang loyal melaksanakannya adalah mereka  yang berasal dari kelompok berkemampuan lebih rendah, sehingga secara kualitatif efektivitas pelaksanaannya patut di ragukan. Pendapat yang menyatakan bahwa koperasi tengah mengalami pelapukan (Herman,1995) dan kehilangan jati diri (Muslimin,1990) memiliki alasan yang cukup kuat. Sulit dibedakan secara tegas nilai esensial yang seharusnya ada di koperasi dan di lembaga ekonomi non-koperasi. Dinamika usaha pada umumnya dan komitmen terhadap pembangunan koperasi menjadi salah satu penyebab pelapukan itu.
    
Adanya indikasi motif berkelompok menonjol di kalangan anggota pengurus dan karyawan koperasi seperti yang terungkap pada tingkatan motivasi. Hal itu bukan karena adanya kebutuhan “cinta kasih” yang merupakan karakteristik dasar manusia koperasi seperti yang dimaksud oleh Herman (1995), akan tetapi lebih cenderung sebagai karakteristik umum budaya kerja di Indonesia. Hal itu sejalan dengan pendapat Frans (1986) yang menyatakan bahwa pekerja Indonesia memiliki karakteristik “kolektivistik” dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi. Keadaan ini memungkinkan kurang tumbuhnya kreativitas dan inovasi individu. Dalam kasus koperasi pedesaan, konflik antara bawahan dengan tingkat pendidikan tinggi dengan pimpinan berpotensi menciptakan iklim kerja yang kurang harmonis. Budaya kerja yang ada belum mampu mengakomodasi konflik menjadi pendorong terciptanya proses kerja yang produktif.
Kriteria mutu layanan yang paling diprioritaskan oleh anggota pelanggan, adalah sikap empati petugas layanan yang senantiasa memiliki tingkat kehadiran pada waktu layanan yang tinggi. Pelanggan membutuhkan petugas layanan yang memiliki komitmen terhadap waktu layanan. Dengan terbuktinya kinerja front line staff berpengaruh terhadap pembentukkan mutu layanan, maka upaya-upaya yang mengarah pada modifikasi kinerja perlu menjadi perhatian selanjutnya.
Mutu layanan yang lebih baik, diterima oleh pelanggan dari front line staff yang memiliki, tingkat kehadiran yang tinggi (kemangkiran rendah), serta memiliki komitmen kerja yang tinggi.Hal ini di atas selaras dengan pendapat Bowen, Siehl dan Schneider dalam Iman  (1996), yang menyatakan bahwa, kepuasan layanan yang dirasakan pelanggan dipengaruhi oleh sifat dari interaksi yang terjadi dengan  front line staff. Demikian pula dengan pendapat Sutjipto (1996) yang menyatakan terdapat pengaruh dari karakteristik tertentu dari penanganan masalah kepegawaian terhadap kepuasan pelanggan. Hal senada juga dinyatakan oleh  Webster (1994), Fandy (1996) maupun Wellington (1989).

Implikasi Kebijaksanaan

a.  Mengembangkan Kepemimpinan Berorentasi pada Bawahan

Peran pimpinan dominan mempengaruhi kinerja individu. Dengan melihat kemungkinan dinamika serta kebutuhan yang relatif tinggi pada pengakuan sosial, maka konsep kepimimpinan yang perlu dikembangkan dalam koperasi adalah konsep kepemimpinan trasformasional dan transaksional. Konsep ini menempatkan bawahan sebagai orentasi dan sumber dinamika kebijaksanaan (Burns,1978) dan (Bass,1985).

b.  Pemberdayaan dan Pelibatan Staf

Pemberdayaan (empowerment) dan pelibatan (involvement) dan anggota pengurus dan karyawan perlu ditempatkan sebagai bagian dari proses organisasi. Sekaligus dalam sistem modifikasi kinerja anggota pengurus dan karyawan. Penempatan “pemberdayaan” lebih awal dari “pelibatan” dalam konteks kasus koperasi, merupakan keputusan yang disadari. Pelibatan tanpa kemampuan yang memadai menyebabkan koperasi dilola dalam suasana tidak terkoordinasi dan cenderung tidak profesional.

c.  Mengatasi Prilaku Kritis pada Staf Berkemampuan Tinggi

Kepemimpin otoriter selama ini efektif untuk menjalankan organisasi koperasi. Akan tetapi untuk jangka panjang membutuhkan kaji ulang yang sangat mendasar, setidak-tidaknya pada teknik pendekatan manajemen sumberdaya manusia. Hal ini dibutuhkan mengingat saat ini mulai terasa timbulnya “perlawanan” dari anggota pengurus dan karyawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lahir dari proses pengambilan keputusan dengan cara lama.
Perilaku kritis kelompok muda berpendidikan tinggi, timbul karena ketidakpuasan terhadap ketidakjelasan sistem imbal kerja, serta kesenjangan penghargaan antara bekerja di koperasi dengan bekerja di luar koperasi.

d.  Perhatian Kesejahteraan Staf

Motif individu untuk menjadi pengurus dan karyawan koperasi lebih bersifat dorongan kebutuhan sosial bukan dorongan yang bersifat material. Demikian pula pembinaan yang dilakukan lebih bersifat pembinaan non-kesejahteraan. Keduanya ternyata memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kinerja. Akan tetapi keadaan ini diduga tidak dapat dipertahankan untuk jangka panjang. Artinya pembinaan atau perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan kesejahteraan, dalam artian material, harus mulai menjadi pertimbangan pimpinan.

e.  Relevansi Program Pembinaan

Mengkaji sasaran Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) Jawa Barat, masih dipenuhi oleh sasaran-sasaran yang sesungguhnya kurang menyentuh kepentingan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat.

Pembangunan mental “insan koperasi” dan dukungan terhadap pembentukan “kewirakoperasian” merupakan substansi yang harus muncul dalam pembinaan oleh pemerintah. Kewirakoperasian berkaitan dengan ketangguhan sumberdaya manusia koperasi memainkan peranannya dalam mekanisme persaingan melalui upaya-upaya manajerial. Implementasi dari penjelasan itu adalah, mendudukkan potensi sumberdaya yang dibutuhkan oleh organisasi berdasarkan perioritas kepentingan dalam usaha memenangkan persaingan.

Sistem pembinaan harus mampu mengkristalisasikan tradisi kerja yang menjadi acuan individu dalam organisasi. Hal tersebut sangat membantu bagi pelaku organisasi, terutama dalam mempersepsikan peran dirinya dalam organisasi koperasi. Di samping itu, dapat membuka wawasan bahwa, KUD dapat dilaksanakan oleh masyarakat sendiri, tanpa campur tangan yang berlebihan dari pemerintah seperti yang selama ini terjadi.


KEPUSTAKAAN
  • Birnbaum.  Dee, and Somers. M.J (1993),  “Fitting Job Performance into Turnover Model: An Examination of the Form of the Job Performance-Turnover Relationship and a Path Model”, dalam Journal Management, Vol.19, No.1, hal.1-11.
  • Bluedorn. C.A., Johnson R.A., Cartwright D.K., Barringer B.R. (1994), “The Interface and Convergence of the Strategic Management and Organizational Enviromental Domains”, dalam Journal Management, Vol.20, No.2, hal. 201-262.
  • Bounds.G., and Johnson.A.J. (1994), “Beyond Total Quality Management: Toward the Emerging Paradigm”, Mc.Graw-Hill Inc., New York.
  • Buchanan.D., and Huczynsky A.  (1991), “Organization Behavior”, Prentice Hall International Limited., New York.
  • Chukwu.S.C.(1990), “Economics of The Co-operative Business Enterprise”, Marburg.
  • Dalton. D.R, and Todor W.D. (1993), “Turnover, Transfer, Absteeism: An Interdependent Perspektive”  dalam Journal Management, Vol.19,No.2, 193-219.
  • Dulfer.E. (1974), “Operational Efficiency of Agricultural Cooperatives”, dalam “Developing Countries”, FAO, Rome.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Koperasi
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/05/manajemen-sumber-daya-manusia-dalam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar