Sabtu, 06 April 2013
0
komentar
A. Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal
adalah kebijaksanaan pemerintah untuk mengubah pengeluaran dan penerimaan
pemerintah guna mencapai kestabilan ekonomi. Pengaruh pengeluaran pemerintah
terhadap pendapatan nasional tergantung pada jenis sumber penerimaan.
Perpajakan sebagai
salah satu sumber penerimaan pemerintah lebih bersifat memperkecil pendapatan
nasional dibanding dengan pinjaman Negara, pinjaman Negara lebih bersifat
memperkecil pendapatan dibanding dengan pencetakan uang baru sebagai sumber
penerimaan Negara.
Kebijaksanaan fiskal pada umumnya bertujuan
untuk mencapai kestabilan dalam perekonomian dengan meningkatkan secara
terus-menerus pendapatan nasional riil pada laju factor-faktor produksi dengan
tetap mempertahankan kestabilan harga-harga umum.
Kebijaksanaan fiskal dapat dibedakan menjadi
4 macam atas dasar :
1. Pembiayaan fungsional (functional finance)
Dalam
pendekatan ini pengeluaran pemerintah ditentukan dengan melihat akibat-akibat
tidak langsung terhadap pendapatan nasional terutama untuk menigkatkan
kesempatan kerja. Pajak berfungsi mengatur pengeluaran swasta sedang pinjaman
sebagai alat untuk menekan inflasi lewat pengurangan dana yang tersedia dalam
masyarakat.
2. Pengelolaan Anggaran (the managed budget approach)
Menghendaki
hubungan langsung antara pengeluaran pemerintah dan perpajakan selalu
dipertahankan, tetapi penyesuaian dalam anggaran selalu dibuat guna memperkecil
ketidakstabilan ekonomi, sehingga pada suatu saat terjadi deficit maupun
surplus.
3. Stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget)
Terdapat
penyesuaian secara otomatis terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
akan menyebabkan perekonomian menjadi stabil tanpa adanya campur tangan
pemerintah. Pengeluaran pemerintah akan ditentukan berdasarkan pada perkiraan
manfaat dan biaya relatif dari berbagai program, sedang pajak akan ditentukan
sehingga dapat menimbulkan surplus dalam periode kesempatan kerja penuh.
4. Anggaran belanja seimbang (Balance approach)
Adanya
keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang
agar terjadi keterkaitan dalam perekonomian sehingga memperoleh kepercayaan
masyarakat.Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh
pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi
jalannya perekonomian, khususnya Perekonomian Indonesia.
a. Anggaran belanja negara yang terdiri dari
- Ø penerimaan atas pajak
- Ø pengeluaran pemerintah (goverment expenditure)
- Ø transfer pemerintah (government transfer)
- Ø government transfer
Biaya transfer pemerintah
merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak menghasilkan balas jasa
secara langsung. Contoh pemberian beasiswa kepada mahasiswa, bantuan bencana
alam dan sebagainya. Salah satu pengaruh
penerapan kebijakan fiskal adalah pada pendapatan nasional Pada sistem perekonomian yang tertutup (tidak
ada perdagangan internasional) maka pendapatan nasional (Y) dapat tersusun atas
konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G). Dirumuskan :
Y = C + I + G
Dimana konsumsi (C) sebagai fungsi dirumuskan
sebagai :
C = aY + b
Pendapatan disposibel (YD) sebagai nilai
pendapatan yang dapat dibelanjakan diformulasikan sebagai :
YD = Y – Tx + Tr
YD = C + S
Dimana :
Tx : Pajak
Tr : Transfer pemerintah
S : Saving
Dimana saving dapat difungsikan sebagai :
S = (1-a)Y – b
Dengan pendekatan matematis dapat ditemukan
adanya angka pengganda/ multiplier dalam perekonomian dengan penggunaan
kebijakan fiskal, yaitu :
- Ø Angka pengganda investasi
- Ø Angka pengganda konsumsi
- Ø Angka pengganda pengeluaran pemerintah
- Ø Angka pengganda transfer pemerintah
- Ø Angka pengganda pajak
b. Hubungan Kebijakan Fiskal Dengan Kebijakan Moneter Dan
Desentralisasi
Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
- Ø Pemantapan koordinasi untuk menjaga sasaran bersama
- Ø Harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal untuk mengoptimalkan pertumbuhan
- Ø Mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan:
- Suku bunga yang secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap Rupiah
- Mengurangi tekanan inflasi
- Penyediaan insentif untuk mendukung percepatan sektor riil
- Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Desentralisasi
- Meningkatkan efektifitas dan efisiensi belanja sebagai stimulus pembangunan
- Memperbaiki pelaksanaan anggaran di daerah-daerah untuk mendukung percepatan pembangunan
- Percepatan persetujuan APBD
- Pelaporan dan penggunaan belanja APBD
- Peningkatan kepastian hukum dan keserasian peraturan pusat dan daerah diprioritaskan
- Penegakan hukum persaingan usaha,
- Sinkronisasi UU Penanaman Modal Tahun2007 dengan berbagai peraturan daerah & Juklak UU PenanamanModal
- Penyusunan rancangan perubahan UU No. 5/1999 untuk membangun sistem pasar yang lebih sehat
Minggu yang lalu ada
perbedaan dalam wacana mengenai kebijakan fiskal yang cukup menarik. Fihak pemerintah, khususnya Menko
Perekonomian dan Menteri Keuangan, menyatakan bahwa mereka ingin mengadakan
stimulus fiskal yang sedikit lebih besar untuk tahun anggaran 2006. Defisit APBN mereka suka tetapkan pada
tingkat 1,1% dari PDB. Sementara PDB
ditetapkan Rp 3040,77. Di lain fihak,
sentimen di DPR lebih konservatip dan tidak ingin (terlalu) melebihi
kesepakatan yang semula yang mematok defisit APBN 2006 pada tingkat 0,6% dari
PDB. Akhirnya, dikabarkan, dicapai
kompromis pada tingkat 0,7% dari PDB (Rp 22.43 trilyun). Maka sebelumnya ada perbedaan wacana antara
pemerintah dan DPR yang menyangkut jumlah lebih dari Rp 10 trilyun. Yang menjadi masalah adalah semangat siapa
yang paling “baik”, yakni semangat pemerintah yang mau memberikan stimulus
ekonomi yang lebih besar, atau sikap DPR yang lebih berhati-hati
(prudent)? Akhirnya, ini merupakan
pilihan yang subyektip, dan kami lebih condong membenarkan DPR.
c. Wacana Kebijakan Fiskal yang Berbeda
Kebijakan fiskal di
tahun 2006 lebih baik yang berhati-hati ketimbang yang sedikit mau
“lepas”. Alasan utama adalah momok
inflasi yang telah sangat mengganggu tahun 2005. Inflasi tahun 2005 menurut Bank Indonesia
bisa mencapai 14%. Di lain fihak,
pemerintah memperkirakan inflasi tahun 2005 tidak akan melebihi 12%. Kalau pun angka pemerintah ini lebih benar,
maka inflasi yang 12% setahun pun merupakan inflasi yang cukup tinggi dan yang
mulai mengganggu, bahkan bisa mengancam merusak, sendi-sendi ekonomi dan
sosial.
Laju pertumbuhan
ekonomi tahun 2005 sekarang diperkirakan tidak akan melebihi 5,7 atau 5,8
persen, artinya masih di bawah 6% setahun.
Untuk tahun 2006 maka pemerintah lebih optimistik dan mematok laju
pertumbuhan ekonomi pada tingkat 6,2%, dinaikkan sedikit dari optimisme semula
yang mematok angka 6,1%. Maka laju
pertumbuhan yang sedikit di atas 6% setahun ini mau digenjot oleh spending
pemerintah yang merupakan stimulus fiskal.
Apa “salahnya” cara berfikir demikian?
Salah berfikir sebetulnya juga tidak, hanya
kurang berhati-hati, kurang prudent.
Stimulus kepada ekonomi tidak selalu harus datang dari (anggaran
belanja) pemerintah. Bisa juga, bahkan
lebih baik dari sektor swasta. Sektor
swasta yang tertarik memperbesar investasi dan tertarik untuk mengekspor lebih
banyak. Investasi dan ekspor, dan kedua
ini memang sangat erat berhubungan, merupakan motor ekonomi yang lebih ampuh
ketimbang stimulus fiskal. Dunia swasta hanya memerlukan iklim yang
stabil. Kalau iklimnya dipandang terlalu
inflator maka investor akan lebih berhati-hati.
Tetapi, pemerintah
ingin merangsang perkembangan ekonomi yang lebih menciptakan kesempatan
kerja. Misalnya dengan menggenjot sektor
pertanian dan memperbaiki infrastruktur yang bisa menopang sektor pertanian dan
pembangunan desa. Ini semangat yang benar. Akan tetapi, hasil fiskal dari kenaikan harga
BBM yang lebih dari 100% dan yang sangat bisa menekan besar subsidi BBM, bisa
dipakai untuk keperluan ini. Tetapi,
biasanya, keperluan juga melebihi persediaan dana. Keperluan untuk membangun ekonomi rakyat menyangkut
tambahan anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang
mendukung ekonomi rakyat (pedesaan) demikian.
Jumlah keperluan selalu melebihi persediaan dana. Ini benar, tetapi sikap kita seharusnya
jangan ingin mengejar segala-galanya agar bisa dicapai dalam satu tahun. Pekerjaan menstimulasikan ekonomi rakyat
merupakan tugas yang terus menerus, dan hasilnya baru bisa dirasakan setelah
jangka menengah atau panjang.
Kalau dalam tahun
2006 mau diberi stimulus fiskal yang cukup besar maka selalu ada momok bahwa
tekanan inflasi yang di tahun 2005 sudah terlalu tinggi akan berlanjut di tahun
2006 oleh karena pengaruh inflationary expectations dari masyarakat dan
pasar. Mengapa kenaikan harga pada ujung
tahun 2006 begitu tinggi? Pertama oleh
karena pengaruh kenaikan harga BBM, kedua oleh pengaruh musiman, yakni
pengeluaran masyarakat yang lebih besar menjelang Lebaran. Akan tetapi, sangat mungkin juga ada pengaruh
“psikologis inflasi” yang sedang terjangkit di masyarakat. Maka baik kebijakan fiskal maupun kebijakan
moneter harus kedua-duanya berusaha sekuat-kuatnya menentang arus sentimen ini.
Sekarang seolah-olah
sebagian terbesar tanggung jawab menekan inflasi diletakkan kepada pundak Bank
Indonesia. BI ini sudah menaikkan suku bunganya,
akan tetapi rupanya belum cukup. Untuk menaikkannya lebih tinggi maka BI pun
cemas bisa merugikan ekonomi dan merugikan neracanya sendiri. Maka dalam keadaan inflator yang cukup tinggi
ini kebijakan fiskal sebetulnya harus contractionary (menciut), misalnya dengan
menciptakan surplus. Jangan terlalu
mengejar angka pertumbuhan
Pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group,
Henri Saparini, menilai penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate)
harus juga diikuti kebijakan fiskal dan perdagangan sehingga efektif mengangkat
sektor riil. "Tidak dapat cukup dengan pemangkasan suku bunga, tetapi
secara menyeluruh dari semua sisi," kata Henri Saparini kepada Antara di
Jakarta, Jumat (5/12). Ia menjelaskan, dalam kondisi seperti saat ini tekanan terhadap
perekonomian nasional makin kuat seiring dengan krisis keuangan global. Untuk
itu, katanya, agar sektor riil bisa bergerak, tidak bisa dilakukan kebijakan
secara parsial dengan hanya menurunkan suku bunga. Namun, menurut hematnya,
harus ada kebijakan yang memihak kepada dunia usaha secara bersamaan.
Pada Kamis (4/12),
Dewan Gubernur BI memutuskan menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin (0,25)
menjadi 9,25 persen, dari sebelumnya 9,5 persen. Keputusan itu diharapkan dapat
menjaga gairah di sektor usaha di tengah melesunya perekonomian global, dengan
tetap menjaga stabilitas makro.
Menurut Henri yang
juga Direktur Pelaksana Econit ini, perlu solusi komprehensif mengatasi masalah
di sektor riil demi menghambat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang
sudah mulai bergulir. Ia berpendapat, penurunan harga bahan bakar minyak (BBM),
seperti premium dan solar, akan sangat membantu industri untuk kembali
meningkatkan kapasitas produksi, meskipun belum bisa maksimal. "Ini akan
cukup menolong perusahaan untuk tidak melakukan pengurangan karyawan,"
ujarnya. Dari sisi kebijakan perdagangan, sudah saatnya pemerintah serius
menghilangkan mengatasi maraknya barang-barang impor ataupun barang-barang
ilegal sehingga daya saing produk lokal terjaga.
Adapun dari sisi
fiskal, pemerintah harus berpihak pada industri dalam negeri dengan menurunkan
bea masuk bahan baku industri sehingga kapasitas produksi terutama orientasi
ekspor bisa dipertahankan. "Kita yakin, jika seluruh kebijakan dijalankan
pemerintah secara bersamaan (moneter, fiskal, dan perdagangan), dunia industri
diharapkan tidak dengan mudah mengurangi karyawan," ujarnya.
Henri menuturkan,
jumlah PHK saat ini lebih besar dari yang diumumkan pemerintah. Padahal
struktur biaya tenaga kerja hanya sekitar 10-15 persen dari struktur total
biaya suatu perusahaan. "Jadi, jika suatu perusahaan terpaksa melakukan
PHK, itu mengindikasikan bahwa perusahaan itu memasuki tahap yang paling sulit
karena biaya tinggi," ujarnya.
Henri berharap
pemerintah tidak menganggap masalah PHK sebelah mata karena, jika sebagian
besar masyarakat mengalami krisis finansial (tidak memiliki kerja) yang
mengakibatkan sulit memenuhi kebutuhan pokok, bukan tidak mungkin, hal itu akan
memicu krisis sosial politik.
Kebijakan fiskal
memiliki dua instrumen pokok, yakni perpajakan ( tax policy) dan pengeluaran
(expenditure policy). Dengan menggunakan dua komponen utama tersebut kebijakan
fiskal mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengaruh penerimaan dan
pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, dan
inflasi.
Dalam konteks
perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan kebijakan fiskal tidak hanya
diarahkan untuk pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita,
pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, tetapi
juga pening katan aspek sosial seperti pemerataan pendapatan, pendidikan, dan
kesehatan.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pengertian Kebijakan Fiskal
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/pengertian-kebijakan-fiskal_5879.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar