Jumat, 05 April 2013
0
komentar
A. Pengantar
Masalah
pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di
negara-negara berkembang seperti di Indonesia.Negara berkembang seringkali
dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan
pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Berdasarkan pengamatan penulis yang
didapatkan dari segala sumber. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena
faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri
tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh
negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih
mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan
dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan
investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara
tersebut. Melalui artikel inilah penulis mencoba untuk mengangkat masalah
pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan saya
sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari
krisis ekonomi sejak tahun 1997 hingga tahun 2008. Penulis mengambil data pada
tahun 2008 untuk dijadikan artikel berdasarkan data dari sumber-sumber yang
ada.
B. Permasalahan
Pengangguran
adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja, karena tidak
tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya
pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural.
Tingginya
angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak
merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu
faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang
menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di
negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk
sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan
sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah
daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan
efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber
daya manusia.
Tingginya
angka penganggur berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak
sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan
pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula,
minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi
mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan
kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.
Salah
satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita
adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga
ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak
bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru
orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja,
entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan. Juga
para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang
menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan
keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi
pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya.
Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi
kepentingan politik salah satu kelompok tertentu. Hal inilah yang harus
diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus.
Bekerja
berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih
baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun
alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus
dapat diatasi dengan berbagai upaya.
C.
Pembahasan
Dua
penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena
tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu
tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari
orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak
mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali. Elwin Tobing mengidentifikasikan
bahwa meningkatnya pengangguran tenaga terdidik merupakan gabungan beberapa
penyebab.
- Pertama, ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus. Memang juga bahwa tidak setiap lulusan langsung mencari kerja.
- Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar daripada membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Clignet (1980), yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
- Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal, sementara angkatan kerja terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang beresiko. Hal ini menimbulkan tekanan penawaran, yaitu tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil.
- Keempat, belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Denga begitu ada banyak hal yang menyebabkan peningkatan pengangguran terdidik terutama dari sebab faktor gengsi pendidikan menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur, masalah skil lulusan serta sempitnya lowongan pekerjaan sektor formal.
Berdasarkan
data yang disajikan tentang tingkat pengangguran menurut pendidikan dari tahun
2004 sampai Februari 2008 yang bersumber dari BPS (lihat lampiran). Data-data
itu menunjukkan jumlah pengangguran di berbagai jenjang pendidikan yaitu
jenjang pendidikan di bawah SD, SD, SMP, SMU, Diploma dan Universitas. Data
dimulai dari tahun 2004, Februari 2005, November 2005, Februari 2006, Agustus
2006, Februari 2007, Agustus 2007, dan Februari 2008. Data ini didapat dari
Survey Angkatan kerja Nasional yang dilakukan oleh BPS 2004, 2005, 2006 dan
2007. Untuk jenjang pendidikan di bawah SD terjadi penurunan jumlah
pengangguran setiap tahunnya di mana dari tahun 2004 sampai dengan Februari
2008 terjadi penurunan 50%. Untuk tamatan SD, terjadi fluktuasi setiap tahunnya
di mana besarnya fluktuasi tidak signifikan dan terjadi penurunan sebesar 4%
dari tahun 2004 ke Februari 2008. Untuk tamatan SMP juga berfluktuasi tiap
tahunnya dan antara tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan sebesar 19%.
Data
pengangguran pada level pendidikan SMU menunjukkan pelonjakkan jumlah dari 2004
ke 2006 dan sampai 2007 terjadi peningkatan sebesar 10%, tapi pada Februari
kembali menurun dan antara tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan
sebesar 8,8%. Pada level pendidikan diploma, setiap tahunnya terjadi fluktuasi
peningkatan dan membengkak pada Februari 2008 di mana antara tahun 2004 ke
Februari 2008 terjadi peningkatan sebesar 119%. Untuk tamatan universitas, sama
halnya dengan tamatan diploma terjadi fluktuasi peningkatan setiap tahunnya
dengan peningkatan sebesar 79,8%. Dari data-data tersebut dapat kita simpulkan
sebagai berikut: -Kabar yang menggembirakan untuk pangangguran tamatan di bawah
tingkat SD yang mana terjadi penurunan yang cukup signifikan dari 2004 ke
Februari 2008 yaitu sebesar 50%. -Tiga level pendidikan yang paling banyak
penganggurannya adalah level pendidikan SD, SMP dan SMU. -Level pendidikan di
bawah SD dan Diploma pada Februari 2008 adalah dua besar jumlah pengangguran
paling kecil. -Pada level pendikan diploma terjadi hal yang mengecewakan yaitu
dari tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi peningkatan yang sangat signifikan
sebesar 119%. -Selain diploma, lulusan universitas juga mengalami peningkatan
jumlah pengangguran yang signifikan dari tahun 2004 ke Februari 2008 sebesar
79,8% -Dari kondisi pengangguran tamatan diploma dan universitas yang meningkat
setiap tahunnya dengan signifikan maka ada suatu masalah pada sistem pendidikan
tinggi di Indonesia ini setiap tahunnya di mana terjadi pengangguran terdidik.
Berdasarkan data dan informasi di atas maka ada dua masalah yang ingin penulis
bahas yaitu: -Peningkatan yang pesat pengangguran terdidik -Paling besarnya
jumlah pengangguran pada level SMU. Analisa dan Solusi Pada bagian sebelumnya
telah dikemukakan beberpa permasalahan yaitu pesatnya persentase peningkatan
pengangguran terdidik setiap tahunnya dan paling besarnya jumlah pengangguran
pada level pendidikan SMU. Untuk itu dalam bagian ini penulis akan mencoba
membahas dua persoalan di atas di mana penulis akan menjabarkan permasalahan
tersebut satu-persatu dengan mengemukakan sebab-sebab permasalahan, fenomena di
lapangan dan referensi opini orang lain atau para ahli tentang hal tersebut.
Selanjutnya juga penulis mencoba mencari suatu solusi berdasarkan analisa
pembahasan yang telah dilakukan. Masalah Pengangguran Terdidik Jika kita
melihat data BPS sebelumnya maka suatu permasalahan yang ada adalah bahwa dari
tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi peningkatan yang cukup signifikan sebesar
119% untuk level pendidikan diploma dan untuk level pendidikan Universitas maka
terjadi peningkatan sebesar 79,8%. Hal ini lebih besar daripada peningkatan
pengangguran pada level pendidikan lainnya. Apa yang menjadi penyebab hal ini?
Kenapa dengan semakin tingginya pendidikan seseorang tapi persentase
peningkatan penganggurannya semakin besar dari tahun ke tahunnya. Pengangguran
terdidik terjadi antara lain sebagai akibat dari lemahnya perencanaan
pendidikan. Di samping sebagai akibat langsung dinamika ekonomi masyarakat dan
krisis ekonomi yang dihadapi. Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat
dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah
terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi,
dengan harapan lapanga kerja. Sehingga gap ini menciptakan barisan pengangguran
yang semakin panjang di kalangan kelompok terdidik. Dan barisan ini dari tahun
ketahun semakin panjang, apalagi diperparah oleh menurunnnya kinerja ekonomi
sebagai akibat dari krisis. Secara empiris yelah terjadi kekurang-sepadanan
antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya
kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil
lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak
berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan
dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang
terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan
teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.
Berdasarkan
perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan
ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa
menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen
pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan kerja. Ini juga
ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa menampung 500
ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang
pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing
karena sangatlah sulit untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri
mengingat justru di dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke
luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor
swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar
rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor
asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi
dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang semakin memanas, kerawanan sosial,
teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan
membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan
dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para
investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya
ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow.
a.
Masalah
Pengangguran dan Krisis Sosial
Jika
masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat
besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial
ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan
remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan
untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat
kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga
diri. Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan
pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap
sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya
bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya
dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan
menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis
sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran
yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah,
melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan
pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya
anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan
maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan
kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
b. Masalah
Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran
intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik
yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada
tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat
menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan
yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar
kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga
kerja asing.
Fenomena
inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang
terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan
kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak
boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa
mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan
dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang
benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau
bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan
bukannya praktek.
Pendidikan
seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih
diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan
pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di
negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai
kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial,
bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa
tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta
cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu
pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang
cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan
bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika
bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian
dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe
soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan
menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah
yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya
manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi
gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya
kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat
pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang
kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit
bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika
kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik
cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan
industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja
antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif.
Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses
industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi
merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses
industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga
terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya
menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas.
Pada
tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang
mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi
normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah
pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar
tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an
pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan
dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar.
Memasuki
dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong
pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun
masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat
lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan
pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi
lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan
tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur.
Salah
satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan
yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai
rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh,
dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang
sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik
yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai
solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai
berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi
kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945
dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegaslagi jadikan
penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua
kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum)
yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti
moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang
melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan
lainnya.Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas
keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga
pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam
keputusannya dan pelaksanaannya.
D. Kesimpulan
Pendidikan
yang diterapkan haruslah sesuai dengan fakta dunia kerja. Jumlah yang besar pengangguran
level pendidikan SMU Hal ini dapat disebabkan angka melanjutkan yang kecil
(banyak lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dengan segala
alasannya) dan sistem pendidikan/pembelajaran yang tidak menunjang. Merubah
atau memperbaiki sistem pendidikan di perguruan tinggi. Memasukkan banyak
praktek pada pendidikan di perguruan tinggi -Meningkatkan jumlah SMK. Sesuai
dengan yang ditargetkan pemerintah bahwa perkembangan SMK sampai tahun 2015
dibanding SMU adalah 70% : 30% termasuk mengembangkan mutu layanannya.
SUMBER
- http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/21/0018.html)
- (http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/07/Editor/edit02.htm)
- (http://obycrownz.wordpress.com/pengangguran-dan-krisis-sosial/)
- (http://www.penulisindonesia.com/yuan85/blog/4879)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Masalah-Masalah yang Timbul dalam Ekonomi Moneter
Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://gioakram13.blogspot.com/2013/04/masalah-masalah-yang-timbul-dalam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagio
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar